saut menyaut mortir iringi
tangisan wajah lugu para priyayi
menutup telinga dan hati pada
si pak tua yang berdiri menghampiri
(2)
berceritalah si pak tua berjenggot kusam dekil
mengenai kisah-kisah para nabi bertelanjang kaki
menyusuri padang tandus tanpa duri
mencoba mencari ilahi di negeri yang asing ini
(3)
ketika itu hanya ada burung kenari
melayang – layang nyaris mati menanti
bukan karena saut – menyaut mortir yang terbang tinggi
hanya saja ia lelah meratapi hari – hari tanpa tepi
(4)
pak tua tiba – tiba berdiri namun tak berlari
kakinya pun hanya terpatri pada sebuah bilik yang mulai dilalap api
“awas mortir!!” sayup terdengar menghampiri
namun cerita pak tua tak pernah terdengar hingga
para priyayi itu mati, dan burung-burung kenari hanya meninggalkan belulangnya di pangkuan ilahi.