Pada dasarnya, pahaman yang selama ini terbangun bahwa kegagalan gerakan akibat krisis kader adalah sebuah kesalahan berpikir yang seolah merampas kesadaran kritis kita secara personal maupun kelembagaan. Padahal itu adalah efek dari terbangunnya kesadaran naïf yang mengakibatkan terjadinya distorsi nilai-nilai perjungan, bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya kala paradigma itu menjadi landasan epistimologi dalam memahami realitas disekeliling kita. Keberhasilan membangun peradaban yang memanusiakan manusia adalah pencapaian yang sangat fenomenal dalam dunia gerakan, yang salah satunya adalah gerakan awal lahirnya Indonesia secara de facto sejak 1920 sampai tahun 1945, setelah itu carut marut gerakan mahasiswa terus terjadi sampai saaat ini, tapi semua adalah nostalgia yang terjadi dimasa lalu, sebuah budaya yang sampai hari ini masih terus ada, budaya yang selalu tenggelam dibalik kebesaran masa lalu. Distorsi gerakan mahasiswa secara universal telah mengkebiri hak rakyat pada dasarnya, dan merupakan pelecehan pada fungsi dan tanggung jawab mahasiswa itu sendiri pada umumnya, ada beberapa alasan yang menjadi variable utama penyebab tersebut:
a) Paradigma sentralistik, materialistic.
Pandangan ini telah memasung telaah kritis mahasiswa yang mengakibatkan terjadinya pola pikir hari ini( penyebab stagnasi ekonomi Indonesia sebagai buah imperialism modern) dan kecenderungan hegemoni disegala bidang secara totalitas
b) Paradigma pragmatism dan konsumerisme
Sebuah pola pikir yang kecenderungan membangun sikap egoism dan perilaku hidup yang yang bersifat hura-hura sehingga menggiring kearah sikap hedonisme.
c) Pop culture dan apatisme
Gaya hidup yang disandarkan pada kondisi pop ala barat serta sikap ketidak pedulian social. Hal ini merupakan awal dari kehancuran gerakan social dimana-mana
Oleh sebab itu, diperlukan sebuah proteksi dini dari LK secara keseluruhan sebagai bagian dari upaya membangun kaderisasi yang berkesinambungan. sehingga control social, agen of change, moral force, dan fungsi-fungsi mahasiwa lainnya bisa kembali dihidupkan, tidak dengan kondisi sekarang yang seakan mati suri dalam kebanggaannya.
“diam adalah ketertindasan itu sendiri, maka jangan cuma tunduk, patuh, dan pasrah memaknai realitas social dimana penindasan itu hadir”!