Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan berhasil menduduki salah satu kursi di universitas bergengsi berubah menjadi sebuah keterkejutan. Setidaknya, hal itu dirasakan Benny, orangtua calon mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Putrinya diterima di Fakultas Ekonomi UGM setelah bertarung dengan puluhan ribu pendaftar. Namun, saat hendak melakukan pendaftaran ulang secara online, dikejutkan dengan salah satu tahapan, yaitu membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang jumlahnya terbilang besar, Rp 40 juta!"
Sebenarnya hal ini sudah saya dengar tahun lalu, tetapi besarnya SPMA yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi hal yang patut dipertanyakan dan juga digugat. Karena komersialisasi pendidikan dengan "kedok" SPMA bertentangan dengan semangat Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Komersialisasi pendidikan adalah indikasi lepasnya tanggung jawab pemerintah.
Pihak UGM mengklarifikasi bahwa biaya itu untuk subsidi silang. Untuk mereka yang tidak mampu tidak perlu membayar dan besarannya juga ditentukan dari besaran gaji orang tua mahasiswa. Tetapi apa pun namanya SPMA kurang sejalan dengan semangat pendidikan murah bagi rakyat kecil yang tidak mampu.
Jika praktik ini terus terjadi dan memberatkan mereka yang lulus SNMPTN, maka tidak ada lagi bedanya antara mahasiswa regular dan nonregular. Semua membayar tetapi dibedakan oleh besarannya. Sudah saatnya rakyat kecil merasakan kemudahan dan kemurahan dari pemerintah dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Masihkah ada kemurahan di PTN? Ataukah PTN sekarang sudah jadi "PTS"? Dari pada pusing saya mau makan siang dulu. Selamat makan siang.
Salam Pendidikan Murah.