Hanya, karena makan bersama-sama dilakukan di area terbuka, tak di ruang makan, maka aktivitas ini seperti tradisi barikan. Yaitu, makan bersama-sama di ruang terbuka, yang makanannya berasal dari masing-masing orang yang terlibat di dalamnya, bahkan makanannya saling ditukar.
Di Cilacap, Jawa Tengah, menurut teman saya yang asli Cilacap, menyebutnya "ngliweti". Teman asal Demak, Jawa Tengah, menyebutnya "bancakan". Sementara itu, teman asal Semarang, Jawa Tengah, menamainya "kembulan".
Saya yakin bahwa pengalaman yang saya peroleh tak sama persis dengan aktivitas kembul bujana atau tradisi barikan. Pun tak sama dengan "ngliweti", "bancakan", dan "kembulan". Â
Sebab, pengalaman yang saya peroleh adalah aktivitas makan bersama-sama di ruang terbuka dengan semua makanannya bukan bawaan masing-masing dan ditaruh di atas daun pisang yang masih berpelepah.
Daun pisang ini digelar memanjang dari satu sisi ke sisi yang lain. Jadi, bentuknya memanjang. Sebelumnya, daun pisang dibersihkan, dicek, yang rusak alias sobek tak digunakan.
Atau, digunakan, tapi dengan diberi rangkap di bawahnya. Dengan begitu, makanan yang diletakkan di atasnya dalam keadaan bersih dan sehat.
Kalau di tulisan ini saya menggunakan judul dan uraian dengan istilah "kembul bujana", hanya sekadar untuk memudahkan pembaca cepat memahami dan pembaca dapat lebih fokus terhadap satu istilah.
Kembul bujana dengan alas makanan daun pisang pada masa kini sudah jarang. Dan, karena sudah jarang itu barangkali, ketika kelompok kring kami mengusulkan kembul bujana model begitu, banyak yang bersepakat.
Kelompok kring kami memang hendak mengadakan acara di daerah lain. Menyewa salah satu tempat. Lokasinya dekat dengan laut, tepatnya Laut Jawa.
Dalam acara ini sangat mendukung dilakukan kembul bujana dengan model menaruh makanan di atas daun pisang yang digelar.
Awalnya daun pisang hendak kami usahakan. Tapi, si pengelola penginapan menyediakan diri menyiapkan daun pisang.
Padahal, pada musim kemarau seperti saat ini tak mudah mencari daun pisang yang masih utuh, tak sobek. Sehingga, adanya tawaran baik ini membuat kami tak perlu berpikir keras  berburu daun pisang.
Mungkin di tempat tinggal si pengelola penginapan ada banyak daun pisang. Sehingga, ia dengan sangat terbuka dan tulus menyediakan diri menyiapkannya.
Kembul bujana di atas daun pisang seluruh makanan tersaji memang tak pernah kami lakukan. Di rumah, kami terbiasa makan memakai alas makanan piring atau mangkok.
Sehingga, adanya kehendak untuk kembul bujana model ini sangat menarik dan membuat sebagian besar kami penasaran.
Makan malam di tempat kami beracara, dilakukan kembul bujana seperti rencana. Daun pisang yang sudah disediakan oleh si pengelola penginapan, kami tata. Tentu daun pisang ini sudah dibersihkan terlebih dahulu. Sebab, pada musim kemarau ini sangat sulit menghindarkan daun dari debu.
Kami mengambil area di selasar penginapan, yang menghadap ke laut. Cuma lautnya tak kelihatan sebab pandangan terhalang oleh pohon-pohon yang tinggi.
Sekalipun tak banyak daunnya karena rontok oleh musim kemarau, rapatnya pohon tak memberi sela kami dapat memandang laut.
Tapi, tak masalah sebab kami masih dapat menikmati laut dan pasir jika kami mau mendekat ke laut, yang jaraknya tak sampai satu kilometer.
Daun pisang sudah tergelar memanjang sepanjang selasar dan beberapa kami sudah duduk di sisi kanan-kirinya, saling berhadapan. Oleh ibu-ibu dan beberapa anak makanan mulai disandingkan ke daun pisang yang tergelar.
Ada nasi, sayur urap, ayam goreng, bebek goreng, sambal, tempe goreng, tahu goreng, lalapan, telur asin, dan minuman sudah siap ditata. Â Nasi mulai diambil dengan entong, yang selanjutnya ditaruh di atas daun pisang.
Masing-masing mengambil sesuai dengan keinginan. Meletakkannya di depan masing-masing. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Setelah itu, di atas atau di sisi gunungan nasi ditaruh lauk dan sayur sesuai kesukaan.
Sayang, tak semua dapat kembul bujana seperti rencana. Karena, tak cukup semua duduk bersebelahan, baik di sisi kanan-kiri daun pisang yang sudah penuh dengan makanan. Terpaksa beberapa ada yang makan dengan memanfaatkan piring.
Sekalipun begitu, yang dapat turut kembul bujana lengkap. Ada bapak, ibu, dan anak-anak. Bapak dan ibu, yang tergolong sepuh, 50 tahun ke atas, kembul bujana model demikian rerata sudah pernah, setidak-tidaknya melihat dari dekat, sekalipun tak ikut terlibat di dalamnya.
Anak-anak, apalagi yang masih kanak-kanak, boleh jadi tak mengenal kembul bujana. Sebab, kembul bujana yang seperti kami lakukan sudah jarang ada, bahkan sangat mungkin tak ada lagi di wilayah tertentu.
Kembul bujana seperti ini harus menyiapkan tempat yang luas. Harus menyiapkan daun pisang yang baik, tak sobek dan masih berpelepah. Terkesan ribet. Tapi, ketika kami mengutarakan ide kembul bujana yang seperti ini, banyak yang setuju, bahkan nyaris zero yang tak setuju.
Ini realitas yang menarik. Sebab, orang-orang tua ternyata memiliki kerinduan suasana masa silam. Mereka ingin merasakan suasana lampau yang  dahulu pernah dialaminya. Mengenang masa lampau seakan menyejahterakan golongan tua.
Antusiasme mengadakan kembul bujana dengan menggunakan daun pisang menandakan bahwa golongan ini merasa sejahtera, sukacita, dan bahagia. Bersentuhan dengan hal-hal yang berbau lama memberi penguatan dan penghiburan tersendiri.
Maka, sebagai hal yang wajar jika angkatan ini lebih menyukai lagu-lagu kenangan ketimbang lagu-lagu masa kini. Karena ternyata hal-hal lama mampu membuat angkatan ini muda lagi dalam hal spirit, semangat muda mengembang.
Apalagi kembul bujana ala ini dapat membangun relasi satu dengan yang lain secara kultural. Â Sembari menikmati makanan dan minuman, semua orang yang terlibat di dalamnya akhirnya saling berbicara. Setidak-tidaknya dengan orang yang berada di sisi kanan-kirinya dan depannya.
Dan, dapat dipastikan bincang-bincang yang terangkat hal yang ringan-ringan, yang dekat dengan kembul bujana, misalnya, perihal makanan yang disantap. Kelakar pun tiba-tiba muncul. Ini yang menghidupkan suasana kembul bujana sangat natural.
Tampak pula satu orang dengan orang lain saling melayani. Misalnya, ada yang mengingini tempe goreng, orang yang dekat dengan posisi tempe goreng melayani yang mengingini.
Demikian sebaliknya, orang yang mengingini ayam goreng pasti dilayani oleh temannya yang duduknya dekat dengan letak ayam goreng. Jadi, keakraban mudah didapat.
Suasana demikian tak mungkin dialami ketika orang makan di rumah, apalagi ketika makan di rumah makan. Serba mekanis, formal, dan kaku. Sebab, orang atau sekumpulan orang yang berada di meja, misalnya, lain terbatas untuk dirinya.
Bagi anak-anak, kembul bujana merupakan pengalaman baru. Dan, hal ini bernilai positif bagi pengalaman hidup mereka. Ada hal baru yang didapat, yang berbeda dengan yang selama ini dilakukan atau dialami.
Makan bersama-sama secara lesehan dan berbaris menghadapi makanan yang ditata di atas daun pisang, tak di piring atau di mangkuk atau juga di dus, mungkin bagi sebagian anak sebagai hal aneh.
Tapi, bagi sebagian anak sebagai hal yang biasa saja. Mereka dapat menikmati acara kembul bujana ini dengan gembira. Bahkan, dapat saja mengikuti golongan tua yang menyantapnya tak menggunakan sendok, tapi menggunakan jari tangan.
Baik anak yang memandang kembul bujana sebagai hal yang aneh maupun anak yang memandang sebagai hal yang biasa, tak dapat disimpulkan buruk-baik. Keduanya mendapat pengalaman baru yang penting bagi mereka.
Bahwa orang, termasuk dirinya, menikmati makanan dapat saja berbeda. Ada yang sendirian dengan menggunakan piring atau mangkuk. Tapi, ada juga yang bersama dalam kumpulan  banyak orang dalam bentuk kembul bujana seperti yang kami lakukan.
Ada anak, juga orang tua, yang menikmati makanan dengan ditaruh di piring bukan karena mereka tak mau bergabung dalam kembul bujana. Bukan! Tapi, karena space untuk kembul bujana memang tak mencukupi.
Dan, andai pada waktu, entah kapan (nanti), ada kembul bujana dan anak-anak berada di dalamnya, mereka tak lagi merasa asing.
Jadi, kembul bujana, bagi generasi tua dapat menjadi media  untuk mengenang masa lampau. Juga, dapat sebagai wujud menghargai dan melestarikan tradisi baik yang ada sejak dahulu kala. Dan, bagi anak-anak masa kini, kembul bujana menjadi pengalaman baru yang bernilai positif.