Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Sekolah Terbatas Menyediakan Ruang Kegemaran Siswa

22 Juli 2024   00:35 Diperbarui: 22 Juli 2024   00:52 17 2
Sekolah tempat belajar banyak siswa. Mereka dapat saja memiliki kegemaran yang berbeda. Jadi, boleh dibilang bahwa sekolah dapat menjadi wadah untuk mengembangkan kegemaran siswa, yang sangat mungkin beragam.

Itu sebabnya, di sekolah diupayakan dibuka ekstrakurikuler. Misalnya, ada ekstrakurikuler bidang seni, bidang olahraga, bidang akademik, bidang organisasi, dan bidang keterampilan.

Toh demikian, ini jumlah yang sangat terbatas. Tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan semua siswa yang sangat mungkin, seperti sudah disebutkan di atas, memiliki kegemaran yang beragam. Konsekuensinya, hanya siswa yang memiliki kegemaran sesuai dengan ekstrakurikuler yang ada yang dapat terlayani.

Siswa yang hobinya tak tersedia   ekstrakurikuler, umumnya bergabung kedalam ekstrakurikuler yang lain. Yang ini ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Yaitu, siswa dapat saja bertahan atau putus di tengah jalan.

Perlu diketahui, tak semua ekstrakurikuler diampu oleh guru yang mengabdi di sekolah termaksud. Sebab, belum tentu ada guru yang memiliki kompetensi di bidang ekstrakurikuler yang tersedia.

Misalnya, ada guru seni, tapi tak mau mengampu ekstrakurikuler teater karena ia memang tak memiliki kompetensi bidang teater. Dengan begitu, sekolah perlu mencari pembimbing dari luar.

Mungkin Anda akan berpikir, kalau tak ada guru yang mampu mengampu ekstrakurikuler teater, ya tak perlu dibuka ekstrakurikuler teater. Agar tak merepotkan sekolah.

Tapi, tak demikian sekolah berpikir. Sebab, sekolah tentu ingin memiliki kesejajaran, bahkan melebihi sekolah lain. Apalagi, misalnya, teater menjadi cabang lomba yang akan difestivalkan.  Sudah pasti sekolah berharap dapat mengikutinya.

Dalam hal demikian, sekolah umumnya mengeluarkan dana untuk pembimbingan ekstrakurikuler ini, yang dianggarkan dari bantuan operasional sekolah (BOS). Dan, ini pun terbatas dalam penganggarannya.

Tapi, sekalipun penganggarannya terbatas, selama ini BOS sangat membantu keberlangsungan ekstrakurikuler di sekolah.

Tanpa ada BOS, sekolah, khususnya sekolah negeri, dapat dipastikan akan kesulitan menyelenggarakan ekstrakurikuler, yang menjadi wadah pengembangan hobi siswa.

Sebab, kecuali BOS, sekolah negeri tak memiliki sumber dana. Sekolah negeri diselenggarakan oleh pemerintah untuk masyarakat dalam kebijakan sekolah gratis. Sehingga, sekolah negeri tak dapat menarik uang dari masyarakat.

Meskipun masyarakat menyekolahkan anaknya di sekolah negeri termaksud. Ini tak perlu diperdebatkan karena memang sudah sesuai dengan komitmen pemerintah. Dan, komitmen ini sudah diundangkan secara publik, dalam bentuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)

Yang, dalam pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun.

Ini artinya, siswa SD, SMP, dan SMA/SMK tak berbayar alias gratis. Baik dalam aktivitas intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Tentu saja ini berlaku untuk sekolah negeri. Tak berlaku untuk sekolah swasta.

Dalam hal ekstrakurikuler, berdasarkan pengalaman setiap tahunnya, sekolah tempat saya mengajar, melalui organisasi siswa intra sekolah (OSIS), saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) mengadakan bursa ekstrakurikuler yang diperuntukkan bagi siswa baru. Hampir setiap jenis ekstrakurikuler dikerubuti oleh siswa baru yang mendaftar sebagai peserta.

Ini menunjukkan bahwa siswa membutuhkan wadah untuk pengembangan kegemarannya. Siswa kami boleh memilih maksimal dua ekstrakurikuler (pilihan). Tapi, perkembangannya, jumlah peserta berkurang. Ini terjadi di hampir setiap jenis  ekstrakurikuler.

Alasannya, boleh jadi, karena siswa yang mendaftar sebagai peserta di jenis ekstrakurikuler belum tentu menyukainya. Karena, ia memiliki hobi yang berbeda, yang kebetulan sekolah tak membuka jenis ekstrakurikuler termaksud.

Barangkali daripada tak ada yang diikutinya, ia mengekor teman mendaftar ke jenis ekstrakurikuler yang ada. Dalam fase anak-anak yang terjadi sering demikian, temannya ikut itu, ia ikut itu; temannya ikut ini, ia ikut ini.

Siswa yang keluar dari  ekstrakurikuler yang dipilihnya saat bursa ekstrakurikuler dalam kegiatan MPLS, dalam masa perkembangannya, umumnya, ia bergabung di ekstrakurikuler yang lain. Fenomena seperti ini banyak terjadi.

Sebab, sangat mungkin siswa belum menemukan kegemarannya. Hobinya belum menetap, masih selalu berubah. Siswa masih mencari-cari passion-nya.

Siswa yang demikian, bisa saja berpindah dari satu jenis ekstrakurikuler ke ekstrakurikuler yang lain. Bisa berpindah dua atau tiga kali, bahkan lebih. Setelah merasa cocok, ia tekun di jenis ekstrakurikuler termaksud.

Karenanya, sekolah biasanya menganjurkan siswa memilih setidaknya dua jenis ekstrakurikuler pilihan seperti yang diberlakukan di sekolah tempat saya mengabdi. Adanya jenis ekstrakurikuler pilihan ini, karena selama ini, ada ekstrakurikuler wajib, yaitu Pramuka.

Jadi, selama ini, siswa diwajibkan mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, selain boleh mengikuti ekstrakurikuler pilihan. Ini dimaksudkan agar kegemaran siswa dapat terwadahi di jenis ekstrakurikuler pilihan.

Kini, sejak tahun pelajaran 2024/2025, ekstrakurikuler Pramuka tak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib. Tapi, wajib ada sebagai jenis ekstrakurikuler di sekolah. Jadi, siswa boleh memilihnya; boleh juga tidak.

Siswa yang memiliki hobi, yang di sekolah tak menyediakan ekstrakurikuler, umumnya, bergabung di klub  yang diadakan oleh masyarakat. Seperti di sekolah tempat saya mengajar, siswa yang berhobi renang bergabung di klub renang di luar sekolah.

Tak hanya renang. Tapi, kegemaran siswa panjat tebing juga bergabung di klub yang diadakan oleh masyarakat. Ada juga yang lainnya, yakni gulat, yang sekolah tak mampu mengadakan, siswa bergabung di klub luar sekolah.

Tapi, menariknya, klub-klub ini selalu membangun komunikasi dengan sekolah, khususnya, ketika ada ivent tertentu, misalnya lomba. Setidak-tidaknya, klub-klub ini memintakan dispensasi bagi muridnya yang hendak mengikuti lomba.

Yang lainnya, misalnya, dalam lomba ini harus menyertakan identitas sekolah, tentu nama baik sekolah dibawa. Apalagi, jika dalam lomba ini meraih kemenangan, sekolah seumpama tinggal memetik hasil.

Yang lebih daripada itu, misalnya, siswa termaksud mewakili sekolah dalam ajang Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA), Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), dan sejenisnya, tentu sangat membantu sekolah. Sebab, dalam proses mereka belajar sekolah tak berperan. Tapi, saat lomba, sekolah memilikinya.

Realitas seperti ini tak hanya terjadi di bidang olahraga. Tapi, juga di bidang yang lain, misalnya, seni, akademik, dan keterampilan.

Dengan begitu, sekolah yang memang tak mampu menyediakan wadah bagi semua hobi siswa dapat tumbuh, tetap ada peluang memiliki banyak siswa yang berkompeten di bidangnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun