Baik peserta didik baru maupun yang baru naik kelas menerima buku dari sekolah. Maksudnya, peserta didik dipinjami buku oleh sekolah. Buku ini adalah buku paket.
Buku yang dipakai oleh peserta didik sebagai buku acuan dalam belajar untuk setiap mata pelajaran (mapel). Biasanya setiap peserta didik menerima satu buku.
Tapi, dalam kondisi kurang buku, satu buku untuk beberapa peserta didik. Dipakai secara bergantian. Misalnya, Senin, buku dibawa si A; Selasa, buku dibawa si B; Rabu, buku dibawa si C. Begitu seterusnya, tergantung satu buku untuk berapa peserta didik.
Selain sangat mungkin ada buku yang baru, ada juga buku yang lama. Buku yang baru tentu dalam kondisi baik. Sementara itu, buku yang lama sangat mungkin dalam kondisi yang kurang baik.
Buku yang lama, yang kondisinya kurang baik disebabkan pernah dipakai secara bergantian dalam durasi waktu yang lama. Umumnya, peserta didik yang lama atau kakak tingkat menurunkan buku yang sudah pernah dipakai kepada peserta didik yang baru.
Selain memang usia yang lama dapat membuat kondisi buku kurang baik, dapat disebabkan juga oleh cara pemakaian yang kurang hati-hati.
Baik terkait buku yang baru maupun buku yang lama, peserta didik perlu dikondisikan untuk hati-hati memakainya. Harapannya, buku ini masih layak pada tahun berikutnya digunakan oleh peserta didik angkatan yang lebih muda atau adik tingkat.
Tak mudah bagi guru mengondisikan peserta didik menggunakan buku secara hati-hati. Pengalaman menjadi bukti yang sulit diingkari. Tapi, sekalipun begitu, guru selalu memberi pesan kepada peserta didik yang sedang menerima buku.
Pesan ini disampaikan saat peserta didik menerima buku. Umumnya, peserta didik diminta untuk menyampuli buku jika buku termaksud tak bersampul. Atau, disuruh menghapus coretan-coretan jika buku ini ada coretan-coretannya. Atau, yang lainnya, demi buku ini baik.
Dari deskripsi di atas, tampak bahwa kondisi buku yang kurang baik tak sama satu dengan yang lain. Ada yang bahkan sampul luarnya sobek. Sehingga, tinggal sampul dalam yang terlihat. Bisa depan dan belakang, keduanya sobek; bisa juga sebagian, yang depan atau yang belakang saja.
Dan, kekurangan-kekurangan yang lain, termasuk, misalnya, ada lembar isi buku yang sobek. Bahkan, ada juga yang hilang. Sehingga, halaman isi buku meloncat karena ada halaman buku yang hilang tersebab sobek.
Terhadap kekurangan-kekurangan ini sudah semestinya guru bersikap, yang harus memandangnya sebagai kewajiban prioritas. Sebab, buku perlu dipersiapkan dulu sebelum dilaksanakan pembelajaran.
Maka, aktivitas mempersiapkan buku tak dapat dilaksanakan sambil lalu. Harus menyeriusinya. Tak hanya menyampuli, membuatkan sampul luar, bahkan melengkapi halaman isi buku yang hilang. Ini relatif mudah dilaksanakan.
Tapi, mengajak peserta didik merawat dan mencintai buku yang sudah diterimanya ini yang terus harus dikerjakan. Tak hanya dituntun dengan bahasa verbal, yang mudah hilang, ibaratnya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Sekalipun ada peserta didik yang begitu diberi saran, mereka taat melakukannya. Merawat buku, dari fisik yang tak sempurna menjadi sempurna. Juga memanfaatkannya secara bertanggung jawab.
Tapi, memang ada peserta didik yang memang harus dibantu dengan penuh kesabaran untuk dapat sampai ke kesadaran yang baik dalam merawat dan mencintai buku.
Perlakuan ini juga untuk buku yang kondisinya baik atau buku baru. Sebab, dapat saja ada buku baru yang oleh sekolah dipinjamkan kepada peserta didik. Buku baru dan lama perlu mendapat perlakuan yang sama oleh peserta didik.
Karenanya, sangat penting bagi guru untuk menyediakan waktu di awal masuk sekolah memulai membangun kesadaran peserta didik merawat dan mencintai buku.
Misalnya, mendiskusikan apa manfaat buku, mengapa buku dipinjamkan, bagaimana memanfaatkan buku, apa untungnya dan ruginya memiliki buku sekolah, dan pertanyaan sejenisnya adalah upaya untuk memberi kesadaran peserta didik terhadap buku yang dimilikinya selama berstatus sebagai peserta didik.
Sepertinya hal demikian terlihat remeh-temeh, kurang berdampak positif bagi peserta didik. Tapi, sejatinya sangat berdampak terhadap proses belajar peserta didik.
Tak mengenal, maka tak sayang dapat menjadi spirit. Sebab, bukankah peserta didik harus mengenal terlebih dulu buku yang dimiliki sebelum sehari-hari mereka menggelutinya?
Budaya audio, mendengarkan dari mulut ke mulut, yang sudah lama ada di masyarakat anak-anak dibesarkan, ditambah dengan budaya visual yang kini sudah merebut hati mereka memang menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam memperjuangkan buku agar dikenali peserta didik.
Maka, ajakan guru terhadap peserta didik dalam merawat dan mencintai buku yang diterimanya dari sekolah bukan kewajiban yang sekali dilakukan langsung selesai. Bukan. Tapi, kewajiban yang bersifat berkelanjutan.
Berat memang (bagi guru) melakukan kewajiban ini. Sebab, peserta didik (baru) yang sudah terbiasa dengan budaya audio visual harus diajak merawat dan mencintai budaya membaca buku.
Apalagi kewajiban ini juga harus diimbangi oleh guru memiliki spirit merawat dan mencintai buku. Jika tak terpenuhi oleh guru, tentu guru seumpama tong kosong berbunyi nyaring.