Seperti perjalanan kami keluar kota dengan Hiace, yang membawa kami, berdua belas orang, ada yang berbagi cerita mengenai anak.
Wajar saja sebab sebagian besar kami sudah dianugerahi anak alias menjadi orangtua. Hanya, dalam konteks demikian, umumnya, orangtua yang memiliki banyak cerita adalah orangtua yang masih muda.
Ya, ada satu teman, termasuk orangtua yang masih muda, menceritakan pola asuh terhadap anaknya, yang masih kanak-kanak.
Demi menjaga ketahanan tubuh anaknya tetap sehat, tak mudah sakit, perihal snack dan minuman keinginan anak, ia bersikap hati-hati. Artinya, tahap eksekusi memberi keinginan anaknya diatur sedemikian rupa.
Ia mencontohkan, saat anaknya makan snack yang dibelinya dari toko swalayan, tak sekali habis alias masih ada lebihnya. Lebihnya disimpan dulu, untuk diteruskan makan pada hari yang lain.
Saya sangat memahami sikapnya. Sebab, snack dan minuman kekinian yang sangat disukai anak-anak dapat saja terhadap anak tertentu berdampak kurang baik.
Dan, menariknya sikap yang diterapkannya terhadap anaknya diikuti oleh sang anak. Jadi, prinsip-prinsip kebaikan untuk menjaga ketahanan tubuh agar terjaga sehat dari dampak makanan ringan dan minuman kekinian sudah terkondisikan dalam diri anak.
Maka, dalam konteks ini, saya sangat mengamini sikap yang diterapkan terhadap anaknya. Saya memandang efeknya bahkan tak hanya sebatas tubuh, tapi juga mental anak.
Betapa tidak. Sebab, mengatur keinginan anak makan snack dan minuman kekinian, selain dapat menjaga tubuh sehat, juga sejatinya dapat melatih anak untuk hidup hemat. Anak tak akan bersikap boros.
Apalagi pengondisian ini dilakukan sejak dini, tentu akan lebih mengurat akar dalam diri anak. Anak akan memiliki dasar yang kuat. Yang, sangat mungkin keteguhannya terus terjaga.
Tapi, memang, ada juga sebagian orangtua yang memiliki sikap yang berbeda. Tak mengamini sikap yang diterapkan oleh teman, yang notabene orangtua yang masih muda ini.
Alasannya, kasihan anaknya. Mestinya keinginannya dipenuhi karena masih kecil. Agar, si anak hatinya senang.
Sebagian orangtua ini juga tak sepenuhnya keliru. Sebab, mereka pasti memiliki alasan. Selain itu, yang diperlakukan seperti ini juga anaknya sendiri. Sehingga, terjadi apa pun terhadap anaknya menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Yang jadi problem adalah ketika nenek-kakek memiliki sikap terhadap cucu secara berbeda dengan sikap yang selama ini diterapkan oleh orangtua anak.
Sebagian besar nenek-kakek, umumnya, bersikap amat menyayangi cucu. Hanya, tingkat menyayanginya sering kelewatan.
Buktinya, nyaris hampir keinginan cucu dipenuhi, bahkan pemenuhannya, sering bersifat spontan.
Maksudnya, ketika cucu merengek, hal yang diinginkan oleh cucu, langsung diadakan. Agar, si cucu tak merengek lagi. Si cucu sukacita, nenek-kakek turut bersukacita. Intinya, nenek-kakek tak ingin melihat cucunya sedih.
Atau, kalau cucu tak merengek karena mentalnya sudah terbangun oleh didikan orangtua, sering nenek-kakek justru menawari cucu untuk minta ini-itu.
Yang namanya anak, saat ia ditawari ini-itu, pasti menerimanya. Sehingga, nenek-kakek akhirnya memenuhinya dengan rasa bahagia sebab melihat cucunya riang gembira.
Hanya, sering nenek-kakek yang sangat mengerti keinginan cucunya, ia belum atau bahkan tak mengerti kehendak orangtua cucunya.
Orangtua yang sudah menerapkan prinsip edukasi bagi anak, sementara nenek-kakek menerapkan prinsip yang kontra produktif, sangat berdampak buruk bagi anak. Akhirnya, anak kehilangan pedoman.
Anak berada dalam kondisi yang tak mudah. Bisa-bisa si anak bingung. Tak memiliki pendirian. Orangtua begini; nenek-kakek begitu. Yang menjadi korban adalah anak.
Karenanya, seperti dalam kondisi yang dialami teman saya, sebaiknya nenek-kakek perlu mengambil sikap yang seimbang. Agar, anak tak mengalami kebingungan. Toh prinsip yang diterapkan oleh orangtuanya sangat mengedukasi anak, baik secara mental maupun sosial-finansial.
Sikap nenek-kakek yang diterapkan seimbang dengan sikap yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak, sangat mendukung proses pembentukan karakter anak. Karena, anak memiliki dasar yang pasti dan kuat.
Betapa pun, tulisan ini tak hendak menyimpulkan bahwa setiap nenek-kakek memiliki sikap yang sama dengan nenek-kakek yang diulas di atas. Tak demikian. Tapi, seperti sudah disebutkan di atas, sebagian besar nenek-kakek menyayangi cucunya dalam realitas yang berlebihan.
Namun, ada juga orangtua yang menyayangi anaknya kelewatan, cenderung menawarkan kemanjaan. Sementara, nenek-kakek memberi sayangnya bagi cucu secara wajar.