Biasanya, yang menjadi pembina upacara adalah kepala sekolah atau guru. Selain menjadi pembina upacara bendera (hari) Senin, kepala sekolah juga menjadi pembina upacara pada hari-hari khusus. Misalnya, hari kemerdekaan, hari pahlawan, dan hari pendidikan.
Sementara itu, guru hanya menjadi pembina upacara bendera (hari) Senin. Ini dilakukan secara bergantian. Umumnya, diurutkan dari pangkat/jabatan yang tinggi ke yang rendah.
Cara seperti yang disebutkan di atas dilakukan di sekolah tempat saya mengajar. Di sekolah lain dapat saja berbeda. Karena, tiap sekolah, dalam hal ini, memiliki otonomi dalam mengaturnya.
Artinya, dapat saja menggunakan urutan tertentu sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Yang jelas, cara demikian bertujuan memberi ruang bagi semua guru, tanpa kecuali, menjadi pembina upacara.
Kesehariannya, guru memang sudah biasa berbicara di hadapan siswa dalam satu kelas. Saat menjadi pembina upacara, guru harus berbicara (ketika amanat) di hadapan semua siswa dan guru serta karyawan dalam satu sekolah.
Ada perbedaan pada keduanya. Terutama terkait dengan beban mental. Juga, materi yang disampaikan saat amanat. Tapi, menguntungkan bagi guru. Karena, guru dapat merasakan suasana yang berbeda.
Suasana yang berbeda sudah pasti didapatkan juga ketika orang nomor satu di kabupaten menjadi pembina upacara bendera (hari) Senin di sekolah. Saya baru kali ini dapat melihat dan terlibat langsung di dalamnya selama saya menjadi guru.
Sudah tiga puluhan tahun lebih mengajar dan beberapa kali pindah sekolah, saya belum pernah mengalaminya. Maka, pada awal tulisan ini saya menyebutkan bahwa upacara bendera di sekolah tempat saya mengajar tersebut dilaksanakan secara khusus.
Betapa tidak, dalam persiapannya saja pihak keprotokolan sudah ambil peran di dalamnya. Ada petugas upacara yang tak boleh dilakukan oleh siswa. Tapi, dilakukan oleh pihak keprotokolan.
Misalnya, ajudan. Sehingga, satu siswa yang sudah menjadi petugas ajudan tak membawakan perannya karena perannya diganti oleh ajudan dari pihak keprotokolan.
Untuk menjaga benak siswa ini, kami memasukkannya kedalam tim paduan suara. Untungnya ia mau dan menerimanya dengan senang hati. Sehingga, sekalipun perannya diganti, keceriaannya tetap ada.
Termasuk  sebetulnya peran pengatur upacara juga hendak diganti. Tapi, karena kami mengomunikasikannya bahwa momen ini istimewa yang tentu menjadi harapan dan kebanggaan siswa, pihak keprotokolan akhirnya mengizinkan siswa tetap menjadi pengatur upacara.
Tak hanya petugas yang harus disesuaikan dengan  keprotokolan. Posisi beberapa petugas pun harus diubah. Tapi, yang diraih, baik. Karena, siswa yang menjadi petugas tak mengalami kesulitan. Dalam gladi, mereka dapat mengikuti perintah keprotokolan. Dan, berhasil pula dalam pelaksanaannya.
Bagi sekolah, momen seperti ini tak disia-siakan. Sekolah memanfaatkannya untuk menunjukkan keunikan atau kelebihan. Tapi, belum tentu disetujui oleh pihak keprotokolan. Sekolah perlu mengomunikasikannya. Â Dan, kemungkinannya, disetujui atau ditolak.
Di sekolah tempat saya mengabdi, misalnya, dua kegiatan di luar upacara boleh dilakukan. Â Tapi, dalam pelaksanaannya, justru lebih dari dua kegiatan.
Karena, akhirnya, Penjabat (Pj.) Bupati Kudus, Dr. M. Hasan Chabibie, S.T., M.Si., dapat juga, misalnya, meninjau perpustakaan dan  bahkan diwawancarai oleh siswa di Podcast Sajaku. Sajaku singkatan dari "Satu Jati Kudus".