Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Jalur Zonasi PPDB, Pola Pendidikan yang Memanjakan

9 Maret 2024   07:53 Diperbarui: 9 Maret 2024   16:19 313 17
Dalam persepsi saya, juga beberapa teman guru,  terkait dengan penerapan jalur zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang dimulai  sejak 2017 ternyata menciptakan beban baru. Yang, tak hanya beban bagi guru, tapi juga (sebenarnya) bagi sebagian orangtua.

Dari tahun ke tahun, jalur zonasi yang pada 2024 memasuki tahun kedelapan, beban itu masih terasa. Dan, justru terasa semakin berat. Yaitu, siswa sulit diajak terlibat dalam proses pembelajaran. Sederhananya, semangat belajar siswa rendah.

Maksud awal diterapkannya jalur zonasi memang baik. Sebab, diasumsikan berdampak terhadap pemerataan kualitas pendidikan. Juga, penghapusan keberadaan sekolah favorit versus nonfavorit. Dan, sekaligus mendekatkan anak dengan sekolah.

Tapi, yang patut disayangkan adalah jalur zonasi mengabaikan nilai. Hanya menggunakan jarak rumah sebagai kriteria. Anak yang rumahnya dekat dengan lokasi sekolah, seberapa pun nilainya, pasti dapat diterima.

Saya, sebagai guru, memandang  bahwa penerapan jalur zonasi ini seumpama mendidik anak dalam pola asuh yang salah. Sebab, jalur  atau sistem ini memanjakan anak. Bahkan, sistem ini pun memanjakan sebagian orangtua.

Betapa tidak, tanpa nilai yang memadai pun seperti sudah disebutkan di atas, anak dapat memasuki sekolah yang dekat dengan rumahnya. Orangtua pun tak perlu berpikir serius perihal ini sebab sudah pasti, secara otomatis, anaknya diterima di sekolah tersebut.

Atau, dengan bahasa lain, anak dan orangtua jauh-jauh hari (sebelum ada PPDB) sudah mengetahui bahwa kelak si anak akan dapat diterima di sekolah yang dekat dengan lokasi rumahnya.

Karenanya, saya berpikir, adanya jalur zonasi ini justru menciptakan sistem, entah disadari atau tidak, yang memanjakan anak.

Kita mafhum bahwa pola asuh yang memanjakan anak tak mendidik. Dalam realitas kehidupan, banyak kita menjumpai akibat buruk pola asuh yang memanjakan anak. Itu sebabnya, pola asuh yang demikian tak dipraktikkan oleh sebagian besar orangtua bagi anaknya.

Sekadar mencatat dari alodoc.com (30/11/2021), setidaknya ada lima dampak buruk orangtua memanjakan anak. Yaitu, menjadikan pribadi yang tak bertanggung jawab, hanya bergantung terhadap orangtua, daya juang lemah, menjadi pribadi pemberontak dan tak santun, dan relasi sosial yang buruk.

Sejak diberlakukannya jalur zonasi, sekolah menerima siswa dalam kondisi yang tak jauh berbeda dengan kondisi yang sudah disebutkan di atas. Telah tujuh tahun jalur zonasi diterapkan, kondisi siswa yang demikian, hingga kini, tetap ada. Bahkan, ada kecenderungan semakin bertambah.

Yang paling merasakan adalah sekolah yang dulu (pernah) mendapat label sekolah favorit. Sebab, sebelum diberlakukan jalur zonasi, sekolah favorit selalu menerima siswa yang secara akademik cerdas.

Tapi, sejak jalur zonasi diberlakukan, sekolah termaksud harus menerima semua anak yang lokasi rumahnya dekat dengan lokasi sekolah.  Meskipun, secara akademik kurang cerdas, bahkan tak cerdas.

Teman-teman guru yang mengajar di sekolah favorit mengakuinya ketika saya mengajaknya mempercakapkan hal tersebut. Mengakui bahwa menjumpai fakta yang berbeda dalam pembelajaran tujuh tahun terakhir ini. Dulu, selalu enak saat mengajar; kini, tak selalu enak.

Sebagian besar siswa yang diterima lewat jalur zonasi, di semua sekolah, membutuhkan perhatian yang ekstra. Tentu hal ini tak ditolak  oleh guru. Sebab, memberi perhatian secara ekstra terhadap siswa yang membutuhkan memang tanggung jawab guru.

Justru peran guru akan terlihat secara nyata jika ia berhasil mendampingi siswa yang demikian. Yang asalnya kurang tahu menjadi tahu. Yang awalnya pasif menjadi aktif. Yang semula malas menjadi giat. Dan, lainnya yang sejenis.

Hanya, adanya siswa yang kurang tahu, pasif, malas, dan yang sejenisnya karena sistem yang dibuat, dalam hal ini jalur zonasi yang cenderung memanjakan anak dan sebagian besar orangtua, agaknya kurang tepat. Karena, seperti sudah disebutkan di atas, kurang mendidik. Itu sebabnya,  jalur zonasi perlu direnungkan ulang.

Sebab, jalur zonasi yang lebih bersifat memanjakan ini, diakui atau tidak, akan (semakin) memperparah kualitas pendidikan. Proses pendidikan bagi anak seharusnya menjauhi pola asuh yang memanjakan. Memperpanjang pola mendidik yang memanjakan tentu akan semakin memperpanjang problem pendidikan kita.

Jalur zonasi bagi anak sekolah dasar (SD) yang berdomisili dekat dengan lokasi sekolah menengah pertama (SMP) dipandang sebagai sistem yang memanjakan anak SD termaksud. Bahkan, sangat mungkin memanjakan orangtua mereka juga.

Akhirnya,  orangtua tak perlu lagi memikirkan belajar anaknya. Sebab, sekali lagi, seberapa pun nilai anak, tetap diterima di SMP tersebut sebagai siswa.

Hal ini setali tiga uang dengan anak SMP yang tempat tinggalnya dekat dengan lokasi sekolah menengah atas (SMA), mereka dapat dipastikan lemah belajarnya. Saya menghadapi fakta demikian di sekolah.  

Beberapa siswa saya, merasa tak perlu semangat belajar karena sudah memiliki kepastian diterima di salah satu SMA (negeri) yang lokasinya dekat dengan lokasi rumahnya.

Fakta ini tak perlu diingkari sebab memang demikian kenyataan yang terjadi. Jalur zonasi, sistem PPDB yang memanjakan anak, meninggalkan beban tersendiri dalam proses pendidikan. Sekadar mengingatkan, selama ini kuota jalur zonasi 50%.

Belum lagi, seleksi melalui nilai (jalur prestasi) bagi anak yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah tujuan, menjadi produk yang bertolak belakang dengan jalur zonasi.

Sebab, bukan mustahil, anak yang berdomisili jauh dari lokasi sekolah tujuan -- karena faktanya memang ada daerah yang tak memiliki SMA-- semakin terlempar jauh dari lokasi tempat tinggalnya.

Ini tak hanya menimpa anak SMP yang hendak masuk ke SMA. Tapi, juga menimpa anak SD yang hendak masuk ke SMP. Beruntung anak SMA yang hendak masuk ke perguruan tinggi (PT) karena tak ada jalur zonasi, tapi ada seleksi.

Jadi, mereka yang hendak memasuki ke PT sudah pasti memiliki semangat belajar yang tinggi. Kehilangan semangat belajar berarti kehilangan pula peluang masuk ke PT, khususnya yang negeri. Juga ke beberapa PT swasta.

Jalur zonasi seharusnya (memang) diterapkan setelah di semua daerah kebutuhan sekolah negeri terpenuhi secara merata. Di daerah tempat saya berdomisili, misalnya, jenjang SMP sudah merata di setiap kecamatan, bahkan tak hanya satu SMP (negeri). Tapi, tak demikian di jenjang SMA. Ada kecamatan yang tak ada SMA-nya.

Jika keberadaan sekolah belum merata di seluruh daerah, taruhlah misalnya, daerah kecamatan dan jalur zonasi diterapkan, tak hanya menciptakan pola asuh (mendidik) yang memanjakan bagi anak, tapi juga  terjadi kekurangadilan dalam pengelolaan pendidikan.

Gagasan ini dikemukakan karena sebentar lagi akan memasuki musim PPDB, khususnya di sekolah negeri. Yang, entah, jalur zonasi tetap diterapkan secara apa adanya seperti yang sudah-sudah, atau ada perubahan. Saat ini hal tersebut belum  diketahui.

Tapi, andai saja ada perubahan, misalnya, diterapkan jalur zonasi yang (tetap) diseleksi lewat nilai,  tentu (ini) akan mengurangi satu kelemahan pengelolaan pendidikan. Sebab, dengan begitu, anak akan  tetap memiliki semangat belajar dan orangtua akan berusaha memberi motivasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun