Dan, semakin ke sini, polarisasi dalam masyarakat semakin kontraproduktif. Yang ditandai dengan sikap yang kurang elok dari kelompok terhadap kelompok yang lain. Ini terjadi di tataran atas.
Secara umum, di tataran bawah, kelompok-kelompok yang ada masih dalam kondisi baik-baik saja. Artinya, tak ada kelompok yang bersikap kurang elok, yang dapat memancing kelompok lain untuk bersikap yang serupa.
Tapi, agaknya, para petinggi (negara) yang berwenang telah membaca bahwa semakin ke depan kondisi seperti yang telah disebutkan di atas akan semakin buruk. Yang, tentu (akhirnya) merugikan banyak pihak.
Kekhawatiran tersebut semakin tinggi tensinya. Sebab, generasi penerus, anak-anak yang sedang mengenyam pendidikan, berada dan hidup di dalam masyarakat yang terpolarisasi itu, khususnya setiap menjelang pemilu.
Karenanya, diakui atau tidak, polarisasi itu dirasakan oleh anak-anak yang seharusnya tak perlu. Sebab, kita mengetahui bahwa polarisasi berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan anak-anak, baik secara psikologis, sosiologis, maupun akademis.
Maka, adanya tema "Suara Demokrasi" dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) boleh disebut sebagai  langkah antisipasi untuk membekali siswa dalam berdemokrasi.
Sehubungan, mereka sebagai warga negara, yang ke depan akan menghadapi dan terlibat dalam pemilu untuk menjaga keberadaan bangsa dan negara.
Pembekalan itu dapat diwujudkan melalui pembelajaran P5. Dapat saja ini efektif, sebab setiap tahun selalu ada pembentukan pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) yang, sangat sesuai dengan tema "Suara Demokrasi".
Dengan begitu, sekolah dapat mengangkat tema ini setiap tahun saat menjelang pemilihan pengurus OSIS. Dapat dijadikan agenda tetap. Agenda tahunan ini akan membekali siswa mengenai praktik berdemokrasi.