Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Pelajaran Berharga di Balik Nazar Siswa (Kami)

1 Desember 2023   09:06 Diperbarui: 1 Desember 2023   09:22 595 22
Saat saya mengajar di salah satu kelas, saya mendekati salah seorang siswa yang memenangi salah satu cabang lomba dalam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tingkat kabupaten tahun ini. Di dekat telinganya, saya berbisik, "tentangmu akan saya tulis, ya?"

Ia hanya tersenyum sembari menatap saya. Senyumannya, bagi saya, tanda sebuah persetujuan. Tak hari itu saya hendak menulis tentangnya. Tapi, setidaknya, saya sudah mendapat persetujuan (lewat bahasa isyarat) terlebih dulu.

Keinginan menulis tentangnya berawal dari ketika saya menjemputnya bersama teman-temannya di lokasi FTBI, di Pusat Belajar Guru (PBG) Kudus, Jawa Tengah, yang jaraknya sekitar 5-6 kilometer dari sekolah kami.

Saat itu, kegiatan FTBI sudah selesai. Makanya, saya diminta oleh teman guru yang menjadi pendamping mereka untuk menjemput. Tujuh siswa yang mengikuti FTBI, enam meraih juara. Enam siswa memegang trofi, satu tidak. Yang satu ini menangis.

Yang menangis itulah yang menyedot perhatian kami. Saya termasuk yang turut menyemangati. Bahasa klasik guru saat siswanya belum memegang trofi kemenangan, "tetap semangat ya, masih panjang perjalananmu".

Dari enam yang memegang trofi, terhadap satu siswa yang tiba-tiba dari mulut teman-temannya tersambar dengan istilah "nadar". Awalnya, saya belum mengerti maksudnya. Beberapa saat kemudian, saya baru mengerti.

Ternyata ada satu siswa kami yang memegang trofi memiliki nadar, atau dalam kata baku ditulis nazar. Waktu itu, saya tak hendak segera ingin mengetahui nazarnya. Karena dalam kendaraan mereka membicarakan hal itu, saya akhirnya mengetahui juga.

Ini yang kemudian saya tertarik untuk menulisnya. Nazarnya adalah ia akan berjalan kaki dari lokasi festival (baca: lomba) hingga rumahnya jika menang lomba.

Dan, memang menang. Tapi, nazar tak dipenuhi pada saat saya menjemput mereka. Ia masih bersama teman-temannya naik kendaraan yang saya kemudikan menuju ke sekolah. Raut wajah mereka terlihat suka cita, kecuali yang satu --meski sesekali tersenyum, tapi terlihat dipaksakan.

Baru pada lain kesempatan nazar itu dipenuhi. Saya melihat langsung. Hal itu dilakukan bersamaan dengan waktu penyerahan trofi secara resmi kepada pemenang oleh Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Kadisdikpora) yang diselenggarakan di lokasi yang sama dengan saat lomba.

[Saat lomba sebetulnya trofi sudah diberikan dan dibawa pulang oleh pemenang. Tapi, waktu itu, penyerahannya tak dilakukan oleh Kadisdikpora. Maka, penyerahan trofi diulang lagi bersamaan dengan penyerahan uang pembinaan.]

Nah, begitu selesai acara, satu siswa kami tak ikut kembali ke sekolah. Ia memulai aksi nazar jalan kaki. Dimulai dari pintu gerbang bangunan PBG. Saat itu saya berpesan (seperti klasiknya orangtua berpesan kepada anak) supaya dirinya hati-hati.

Ia mulai menjauh dari posisi kami. Dan, kami tak mengikuti aksi selanjutnya. Sebab, kami mengendarai kendaraan melewati arah yang berbeda. Ia mengarah ke rumahnya; kami mengarah ke sekolah.

Lokasi PBG berada di Desa Mlati Norowito, Kecamatan Kota; rumahnya berada di Desa Jepang Pakis, Kecamatan Jati. Jaraknya antarkeduanya relatif sama dengan jarak antara lokasi sekolah dan lokasi PBG. Artinya, kami menempuh 5-6 kilometer naik kendaraan, ia berjalan kaki.

Saya pernah mengalami usia sepertinya. Makanya, saya berkesimpulan bahwa menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki dalam usia belasan tahun pasti sangat ringan.

Apalagi saya sudah mengetahui kondisi fisiknya. Ia sangat sehat, bugar, dan segar. Ia anak yang banyak gerak sehingga ukuran badannya tergolong atletis, tak gemuk. Berjalan kaki, bahkan berlari, sejauh itu "sangat kecil".

Atas aksinya, saya tergelitik untuk menguliknya. Sebab, pada zaman seperti ini, umumnya orang ingin yang simpel-simpel, si siswa ini malah ingin yang repot.

Memang perihal simpel dan repot itu sangat subyektif. Bagi seseorang, nazar jalan kaki dalam jarak tertentu tak termasuk repot. Tapi, bagi seseorang yang lain, hal yang sama dapat dikatakan repot.

Tapi, ketika hal tersebut dilakukan oleh anak SMP, yang masih senang-senangnya bermain dan sebagian anak seusianya suka rebahan dengan ngegame, ia berani memilih yang berbeda.

Di mata teman-temannya, sekalipun saya tak bertanya kepada salah satu di antara mereka, saya berani memastikan bahwa mereka pasti  menganggap satu temannya ini aneh. Kok bisa-bisanya!

Atau, lebih jauh lagi, mereka mungkin ada yang berpikir bahwa tak dilakukan juga tak apa-apa, untuk apa dilakukan, cari lelah saja!

Nah, pada titik ini, kita dapat belajar beberapa hal. Pertama, bagi siswa kami yang satu ini membuat nazar harus ditepati. Tak boleh diingkari. Sebab, boleh jadi kalau diingkari, ada risiko, setidaknya, hati (sendiri) tak merasa nyaman.

Karena sikapnya, siswa kami yang satu ini boleh disebut (jelas-jelas) anak yang konsekuen. Teguh terhadap perkataannya. Artinya, apa yang dikatakan --dapat saja dikatakan di dalam hati---harus dilakukan. Dalam bahasa yang berbeda,   perkataannya sesuai perbuatannya.

Bagaimana dengan kita? Dapatkah memegang teguh perkataan kita? Tak ingkar janji, dengan benak sendiri, atau dengan orang-orang terdekat, juga yang berelasi dengan kita?

Siswa kami ini tentu mengerti arti nazar. Berjanji kepada diri sendiri. Sebetulnya, ini sangat mudah untuk diingkari karena hanya berlaku untuk diri sendiri.

Lebih sulit mengingkari janji dengan orang lain. Karena ada ikatan, yang jika diingkari, orang lain dapat sakit hati, kecewa, marah, bahkan akhirnya membenci kepada orang yang memberi janji.

Tapi, tak demikian bagi siswa kami ini. Sekalipun berjanji kepada diri sendiri, ia memenuhinya, dengan rasa suka cita. Suasana hati yang demikian tentu didasari oleh harapannya yang telah terpenuhi.

Toh begitu, ada sebagian orang yang sekalipun harapannya telah terpenuhi, janjinya diingkari. Sikap yang demikian tentu memprihatinkan karena, seperti sudah disebut di atas, akan melukai benak liyan. Atau, kalau nazar, melukai benak sendiri.

Kedua, siswa kami teguh berpendirian. Padahal, bukan mustahil ada banyak godaan atau pengaruh ketika ia bernazar. Pengaruh dari teman-temannya. Sebab, sehari-hari ia berkumpul dengan mereka.

Dan, dalam usia anak-anak, umumnya, mereka senang saling menggoda. Apalagi kalau mereka memandang ada temannya yang dipandang aneh, berbeda, tak seperti biasanya.

Keberadaan tersebut malah menjadi bahan  untuk menggoda. Sangat mudah untuk dilakukan karena sudah ada bahan, dalam arti mereka tak perlu mencari-cari bahan untuk memengaruhinya.

Tapi, siswa kami yang satu ini tahan uji. Tak goyah. Tak terpengaruh. Tetap fokus melakukan nazarnya dengan --seperti di atas sudah disebut-- senang hati dan ikhlas.

Saya tahu persis kondisi itu karena saya berada di dekatnya dan seolah-olah saya yang mengangkat bendera start baginya melakukan aksi.

Dan, tahan uji itu semakin terbukti ketika saya menyaksikan dirinya tetap memilih melakukan aksi berjalan kaki ketimbang naik kendaraan seperti teman-temannya.

Saya mengetahui juga saat itu bahwa  teman-temannya yang naik kendaraan  menawarinya untuk turut bersama. Tapi, toh, ditolaknya dan ia tetap mementingkan nazarnya.

Kita, yang dewasa saja, tak semua dapat bertahan dalam godaan. Mudah kena pengaruh dan akhirnya melepaskan  yang sejak semula tergenggam kuat. Entah, kelak menyesal atau bahagia, tak pernah menjadi pertimbangan.

Kadang memang ada orang yang dewasa usia, tapi muda dalam berpikir. Sebaliknya, ada yang muda usia, tapi dewasa dalam berpikir. Barangkali siswa kami yang satu ini termasuk kelompok yang kedua, yaitu muda usia, tapi dewasa berpikir.

Ketiga, siswa kami tak merasa malu. Dari sikap dan rona wajahnya, saya mengetahuinya. Saya semakin yakin bahwa ia tak malu dilihat orang atas aksinya itu. Karena tentu telah dipertimbangkannya bahwa di sepanjang jalan yang dilewatinya akan bertemu dengan banyak orang.

Mereka yang berpapasan dengannya, mungkin ada juga yang sudah mengenalnya, bukan mustahil memandangnya.  Mungkin dari mereka malah ada yang bertanya-tanya, baik dalam hati maupun langsung.

Siapa gerangan yang berjalan? Kok mengenakan seragam OSIS? Sekolahnya mana? Siang-siang dan panas menyengat begini, jalan kaki? Mungkin saja masih ada pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Dan, betul, ketika esok harinya di sekolah saya menanyakan kepadanya tentang dirinya, apakah bertemu dengan orang dan  ada yang menyapanya, ia menjawab ada. Itu terjadi ketika sudah memasuki atau mendekati wilayah desanya. Orang yang dimaksud adalah tetangganya.

Betapa pun, ia mampu menghapus rasa malu, sehingga yang lahir adalah kepercayaan diri. Karena bukan mustahil nazar yang sedang dilakukan, diyakininya, baik baginya dan tak merugikan orang lain. Makanya, tak perlu malu.

Ini yang juga dapat disebut sebagai sebuah pelajaran. Artinya, orang tak perlu merasa malu jika semua yang dilakukan baik baginya dan tak merugikan orang lain.

Ini pun menyiratkan nasihat yang bijak. Yaitu, kita harus merasa malu jika semua yang kita lakukan, serasa baik menurut kita, tapi merugikan orang lain.

Mungkin masih ada pelajaran berharga lain yang berada di balik nazar siswa kami itu. Karenanya, silakan secara merdeka Anda merenungkannya, lalu menuangkan hasil renungan di Kolom Komentar!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun