Maka, saya dan istri yang masih kecil-kecil waktu itu, yang berada di satu wilayah kecamatan, tetapi beda desa, relatif menghadapi fenomena yang sama ketika memasuki  bulan Ramadan.
Ada efek yang kami alami dalam hidup sehari-hari. Setidaknya mengenai aktivitas harian di rumah ketika menjelang Ramadan.
Hanya, karena menurut saya lebih menarik pengalaman masa kecil istri daripada saya, maka saya menuliskan lebih banyak kenangan masa kecil istri saya ketika menjelang dan memasuki Ramadan.
Kala itu, anak-anak, baik laki-laki maupun wanita, memiliki kebiasaan mencari kayu bakar di ladang. Sebab, ibu kami sudah biasa memasak menggunakan kayu bakar.
Ya memang seperti itu. Seperti juga ibu saya. Sebab, sementara kompor belum ada, alam menyediakan banyak kayu bakar yang bisa dengan leluasa dimanfaatkan.
Anda yang seusia kami dan hidup seperti kami di desa, mungkin mengalami kejadian yang  setiap kali memasak, dapur penuh dengan asap. Itu pemandangan sehari-hari yang bisa dinikmati.
Saya membayangkan jika ketika itu sengaja dilihat dari puncak tertentu pada waktu ibu kami memasak --biasanya pada pagi hari-- akan terlihat keelokan di atas setiap rumah, asap yang mengepul membubung tinggi.
Dulu hal itu belum menjadi masalah. Kini sudah menjadi masalah. Karena disadari bisa merusak zat ozon. Maka, kini menjadi larangan bagi pihak-pihak yang beraktivitas, misalnya, hanya sekadar membakar sampah.
Karena dulu belum ada larangan seperti itu, maka kayu bakar sepertinya menjadi satu-satunya bahan bakar, termasuk yang terpopuler, untuk memasak.
Itu sebabnya, setiap pulang sekolah, anak-anak pada masa itu berburu kayu bakar. Aktivitas itu lebih sering dilakukan secara bersama. Sekalipun sampai di lokasi berburu, kami mencari sendiri-sendiri.
Kalau yang laki-laki biasanya memikul atau memanggul. Sementara yang wanita, mengendong. Bisa kayu kering, bisa juga kayu basah.
Kalau kayu basah berarti harus melalui proses penjemuran terlebih dahulu sebelum digunakan untuk memasak.
Oleh karena itu, anak-anak, juga orangtua kami (terutama ibu kami) lebih menyukai kayu yang kering karena siap pakai.
Itu kesibukan anak-anak sepulang sekolah, selain ada yang sebagian dari mereka juga menggembalakan kambing atau sapi.
Saya termasuk yang kelompok ini. Selain berburu kayu bakar, juga menjadi sang gembala kambing.
Bagi keluarga tertentu, terutama yang beragama Islam, di kampung kami, rutinitas mencari kayu bakar berhenti ketika memasuki Ramadan. Sehingga sebelum memasuki Ramadan harus menabung kayu bakar.
Keluarga istri saya, yang merupakan keluarga Bhineka Tunggal Ika, ada yang Islam dan Kristen, juga melakukan hal serupa. Menabung kayu bakar menjelang Ramadan.
Ini sudah menjadi kebiasaan. Turun-temurun, waktu itu. Kayu bakar kering memiliki tempat khusus yang disusun rapi dan diusahakan tidak menempel di tanah untuk menghindari ganasnya rayap dan juga tidak kehujanan.
Diupayakan tabungan kayu bakar cukup untuk kebutuhan selama Ramadan. Karena selama Ramadan, seperti yang diakui oleh istri saya, tidak ada lagi aktivitas berburu kayu.
Berburu kayu waktu itu memang memakan energi. Sebab, kami menempuh perjalanan yang kadang jauh dari lokasi tempat tinggal kami.
Yang diawali dengan mencari kayu ke sana ke mari. Kadang juga harus memanjat pohon. Merontokkan cabang atau ranting kayu yang kering.
Kalau ada yang demikian, riang hati kami. Sebab, tidak perlu ada proses mengeringkan terlebih dahulu. Ibu kami --seperti sudah disebutkan di atas-- juga senang sebab kayu bisa langsung digunakan untuk memasak.
Lokasi berburu kayu di bukit-bukit, yang keadaan tanahnya turun-naik. Jalan yang kami lewati juga turun-naik sehingga membutuhkan energi yang ekstra.
Bahkan, bisa-bisa di tengah perjalanan pulang, kami istirahat dahulu beberapa menit untuk menormalkan napas dan melepas lelah. Sebab, beban (kayu bakar) di pundak  (bagi laki-laki) dan di pinggang (bagi wanita) pun perlu dilepas sejenak.
Ramadan tiba
Begitu Ramadan tiba, tidak ada lagi rutinitas berburu kayu bakar. Sebab, kebutuhan kayu untuk memasak sudah diperkirakan terpenuhi dengan tabungan kayu bakar.
Hanya, begini yang dikatakan istri saya, sekalipun tidak berburu kayu, masih ada aktivitas lain yang bisa dilakukan. Yang sering dilakukan adalah mengambili (bunga) cengkeh yang jatuh dari pohonnya.
Cengkeh, Pada akhir 1970-an memang sedang  booming. Orang-orang desa, termasuk di desa kami, sebagian besar menanamnya karena waktu itu harga cengkeh sangat menjanjikan.
Cengkeh kadang  memang jatuh ketika belum musim petik. Bisa karena faktor cuaca atau penyakit. Tetapi, oleh orang yang memilikinya cengkeh yang jatuh itu dikumpulkan dan dikeringkan untuk dijual.
Dan, masih mendapatkan uang sekalipun tidak semenguntungkan cengkeh yang dipanen sesuai masa petik.
Karenanya untuk memanfaatkan waktu yang ada sekaligus tidak menuntut banyak energi, mengambili cengkeh yang jatuh itu menjadi aktivitas yang biasa dilakukan saat Ramadan karena saat Ramadan memang istirahat berburu kayu bakar.
Kalau pada masa kini, aktivitas seperti itu malah bisa untuk ngabuburit. Menunggu waktu tiba buka puasa. Tetapi, sekalipun menunggu, aktivitas tersebut ada hasilnya yang bisa didapat.
Itulah kebiasaan yang anak-anak lakukan semasa saya dan istri masih kecil. Saya pun melakukannya (waktu itu), sama persis seperti istri saya melakukannya.
Hanya, karena saya sebagai penggembala kambing, waktu itu saya juga menabung rumput dan juga dedaunan untuk pakan kambing (dalam bahasa khusus masyarakat kami, diistilahkan ramban).
Aktivitas nabungnya justru saya lakukan pada bulan Ramadan. Karena, agar ketika tiba waktu lebaran, yang biasanya banyak tontonan, saya bisa melihat seperti anak-anak yang lain.