Ia tidak terlambat. Hanya, sepertinya, ia paling akhir tiba di sekolah. Ia melintas agak jauh dari kami. Mungkin merasa malu, atau takut jika kami tegur.
Kami tidak bermaksud memanggilnya pada awalnya. Tetapi, begitu mata kami melihat sol sepatu yang dikenakan jebol dan tidak berkaus kaki, akhirnya kami memanggilnya.
Ia mendekat kepada kami. Ia tidak terlihat takut. Biasa saja. Mungkin salah satunya karena beberapa bulan yang lalu, ia sudah pernah bercakap-cakap dengan saya mengenai dirinya. Jadi, sudah ada aura keakraban.
Ya, ketika itu, ia mengendarai motor saat berangkat ke sekolah. Padahal, sekolah tidak mengizinkan. Karena siswa belum memiliki surat izin mengemudi (SIM). Siswa hanya boleh diantar. Atau, menaiki sepeda onthel dan berjalan kaki. Karena pelanggaran itu, saya mengajaknya mempercakapkan pelanggarannya.
Dalam momen tersebut, saya mendapatkan banyak informasi penting mengenai dirinya. Ia mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal. Ayahnya menikah lagi. Ia merasa kurang mendapat perhatian. Selama ini, ia ikut dan bekerja di gerai HP omnya.
Motor yang dikendarai (ternyata) milik omnya. Omnya mengizinkan ia mengendarai motor waktu itu karena kalau berjalan kaki, ia pasti terlambat tiba di sekolah. Sementara, omnya tidak sempat mengantar. Juga tidak menaiki sepeda onthel karena ia tidak memilikinya.
Dan, saya akhirnya mengetahui aktivitasnya sehari-hari setelah pulang sekolah dan pada saat libur. Ia ikut bekerja omnya, tidak hanya menjaga gerai HP, tetapi juga bertugas mengambil HP bekas hingga di luar kota. Pantas ia pintar mengendarai motor.
Saat itu, saya pun mendapat tambahan informasi tentangnya dari salah satu teman guru. Yang, ketika ia Kelas VIII, teman guru saya ini mengajarnya. Cerita teman guru ini menambah keyakinan saya mengenai keberadaan anak tersebut.
Keberadaan mengenai siswa kami itulah yang kemudian saya ceritakan kepada teman yang duduk di kursi luar depan ruang guru bersama saya, saat menunggu bel tanda masuk ujian dibunyikan.
Melihat sol sepatunya jebol, kiwir-kiwir (hampir lepas) dan satu-satunya kaus kaki putihnya basah, begitu katanya, serta tambahan informasi dari saya mengenai anak itu, kami bersehati: ia perlu dibelikan sepatu. Ini keadaan darurat!
Untuk membelikan sepatu baginya tidak menggunakan uang kami. Tetapi, uang siswa sendiri. Setiap Jumat, siswa mengumpulkan infak. Dan, uang infak itulah yang digunakan untuk membantu siswa yang sangat membutuhkan.
Kadang ada yang membutuhkan kaca mata, sepatu, baju seragam, kaus kaki berlogo sekolah, tas, dan sejenisnya. Kadang yang membelikan kami sendiri, wali kelas, atau anaknya sendiri bersama orangtua/walinya tentu --yang diikuti dengan menunjukkan tanda bukti pembayaran dan barang yang dibeli kepada kami.
Cara tersebut hanya untuk memastikan bahwa uang yang bersumber dari infak diperuntukkan secara benar. Sesuai kebutuhan.
Nah, sekarang, mari kembali ke tokoh kita, yaitu siswa kami itu. Sekalipun sepatu yang dikenakannya solnya hampir lepas, ia terlihat tetap percaya diri. Berjalan begitu tenang seperti tanpa terganggu perasaannya.
Padahal, ketika kaki kiri melangkah yang tentu saja terangkat, sol sepatu bagian kiri terlihat mau lepas. Tetapi, karena bagian pangkal atau tumit masih melekat, jadi tidak lepas. Sekalipun begitu, saya kira tetap membuat tidak nyaman. Saya pernah mengalaminya. Tetapi, ia --sekali lagi-- tampak tidak merasa terganggu.
Perihal merasa terganggu atau tidak, sebetulnya dapat ditandai dari raut wajah. Tetapi, saya tidak menemukan di raut wajahnya ada tanda-tanda yang menunjukkan rasa malu. Sehingga, saya akhirnya sempat membandingkannya dengan anak-anak lain. Andai saja yang mengalami kejadian seperti itu anak lain, bagaimana kemungkinannya?
Mungkin ada yang tidak merasa malu seperti dirinya. Mereka tetap memiliki kepercayaan diri. Tetapi, saya yakin, sebagian besar anak merasa malu kalau mengalami kejadian seperti itu. Apalagi anak-anak pada zaman now.
Sangat jarang ada anak, bahkan mungkin orang dewasa, yang dapat "menikmati" kesederhanaan, bahkan kekurangannya pada zaman serba gemerlap ini.
Maka, ketika kami menjumpai anak seperti tokoh kita ini, saya menghadiahi dua jempol. Hebat, luar biasa! Bahkan, tidak sebatas itu, saya perlu belajar juga darinya mengenai kepercayaan diri yang tetap terjaga meskipun dalam keadaan (ke)kurang(an).
Saya dapat melihat kepercayaan dirinya begitu kuat saat berada di antara teman-temannya. Kebetulan saat itu, saya mendapat tugas sebagai pengawas di ruang ujian, tempat ia mengikuti ujian. Tidak terlihat sedikit pun ia minder berada di antara anak-anak lain. Yang dalam pengamatan saya, sepatu mereka dalam kondisi jauh lebih baik daripada sepatunya.
Kemudian, hal lain yang berhubungan dengan kepercayaan dirinya yang begitu kuat adalah sikap "menerima apa adanya". Sepatu dengan sol yang sudah jebol tetap dikenakannya untuk bersekolah. Saya rasa, ia mengenakannya tidak dengan bersungut-sungut.
Buktinya, ia masih memiliki semangat bersekolah, tidak minder; ketika kami memanggilnya, ia merespon secara sigap; ketika kami bertanya, ia menjawab dengan tegas dan apa adanya. Tentu tidak bersikap seperti itu kalau saat mengenakan sepatu hatinya bersungut-sungut alias jengkel dan menolak keadaan.
Saya menjumpai beberapa siswa kami yang kurang bisa menerima keadaan. Dampaknya sangat kelihatan. Misalnya, mereka pamit kepada orangtua pergi sekolah, tetapi tidak sampai di sekolah; mereka sering berulah di sekolah sehingga sering berurusan dengan guru. Ya, tidak seperti tokoh kita, siswa kami yang satu ini, yang memang berbeda.
Karenanya, barangkali tidak ada salahnya kalau kita mau bercermin terhadapnya, belajar darinya tentang bagaimana kepercayaan diri tetap terjaga dan bisa menerima apa adanya sekalipun dalam kondisi yang begitu kurang. Jika ini yang menjadi pilihan saya dan Anda, bukan mustahil kita merasa nyaman menjalani hidup.
Mungkin senyaman benak dan pikiran siswa kami itu, yang tetap percaya diri dan enjoy berangkat sekolah dan mengikuti ujian meskipun mengenakan sepatu yang solnya nyaris lepas.
Belajar dari siswa kami itu, saya pikir relevan juga dengan konteks menyongsong tradisi lebaran tahun ini. Lebaran yang suci tentunya harus diwujudkan dalam hati, pikiran, dan perilaku yang suci pula. Di antaranya tidak memburu memenuhi keinginan. Misalnya, keinginan memiliki kemeja, gamis, kaftan, sandal, motor, atau mobil baru.
Jelas kurang tepat juga kalau lebaran tahun ini dijadikan momen untuk "menebus" dua lebaran terdahulu yang tidak bisa dirayakan gegara pandemi secara "besar-besaran". Barangkali lebih sejuk kalau lebaran tahun ini diwarnai dengan hati, pikiran, dan perilaku yang sederhana, sesuai kemampuan.
Kalau tidak ada yang baru, yang lama pun boleh juga. Selama masih layak digunakan, kenapa tidak? Baju dan celana baru, tetapi sandal lama tidak menjadi masalah. Tidak harus semuanya serba anyar. Memenuhi keinginan semua serba anyar belum tentu membuat hati dan pikiran nyaman pada saat lebaran.
Bukankah sebentar lagi anak-anak mendaftar sekolah atau kuliah, yang boleh jadi membutuhkan biaya yang tidak sedikit? Jadi, bisa berbagi, baik untuk kebutuhan --bukan keinginan-- lebaran maupun untuk pendidikan anak-anak tentu membuat hati dan pikiran lebih nyaman.
[Tentu saja bagi Anda yang memiliki rezeki lebih, memenuhi kebutuhan lebaran semua serba anyar tidak menjadi problem. Sah-sah saja. Hanya, semua itu bermakna kalau tidak digunakan untuk menunjukkan perbedaan terhadap yang lain.]