Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Bagaimana Kita Memaknai Toleransi?

12 April 2022   16:59 Diperbarui: 12 April 2022   18:33 177 16
Sehabis mengikuti ibadah di gereja, saya agak jauh berjalan menuju mobil yang kami kendarai. Kami parkir di pinggir jalan, yang memang disediakan area oleh pemerintah daerah untuk memarkir mobil. Kondisi aman karena ada mas tukang parkir (yang selanjutnya disebut tukang parkir) yang setia menjaga.

Jalanan dalam keadaan sepi. Tidak seperti umumnya ketika selain bulan Ramadan. Mungkin saja saudara-saudara yang menjalankan ibadah puasa, lebih nyaman berada di rumah. Beristirahat dari aktivitas sehari-hari, toh memang Minggu hari libur bekerja.  

Dengan beristirahat memanfaatkan hari libur bekerja lebih berharga daripada waktu tersebut digunakan untuk jalan-jalan, yang kurang penting dan melelahkan. Beristirahat di rumah justru bisa melepas kelelahan yang terakumulasi selama enam hari bekerja. Dengan begitu, kondisi badan kembali segar dan esoknya siap bekerja lagi.

Nah, kini kembali ke perihal kondisi jalanan sepi. Kondisi tersebut tak menandakan bahwa nihil orang atau pengendara yang melewati. Tetap ada, tapi tak ramai. Karena tak ramai, maka kami bermaksud memutar balik mobil agar jalur yang kami tempuh ke arah rumah tak terlalu jauh. Tepat pada bagian ini, tukang parkir berperan.

Ia membantu kami memutar balik mobil. Sehingga, saya leluasa memutarnya karena kendaraan yang dari arah lain diperlambat jalannya dan bahkan terlihat berhenti sesaat.

Saat saya memutar balik mobil sembari mengasihkan "hak" yang harus diterimanya karena sudah membantu kami, ia berucap sambil tersenyum: pasti toleransi,  pak.

Otak saya langsung mengaitkan ucapannya itu dengan pengendara motor yang disetop. Maksud saya --ini yang kemudian terpikirkan di otak saya-- ketika pengendara motor yang disetop melambat, lalu berhenti  dan saya berhasil memutar balik mobil, pengendara motor itu disebutnya memiliki sikap toleransi.

Semoga maksud yang terpikirkan di otak saya, benar. Artinya, kata "toleransi" yang diucapkan oleh tukang parkir memang benar(-benar) ditujukan kepada pengendara motor yang disetopnya, yang kemudian melambat dan berhenti sesaat agar saya mudah memutar balik mobil.

Sebaliknya, dalam dugaan saya (juga), jika pengendara tersebut tak melambatkan motornya, tapi tetap mengendarainya ketika tukang parkir menyetop, maka pengendara motor itu disebutnya sebagai orang yang tak memiliki sikap toleransi.  

Jika memang demikian, konsep yang terpikirkan di otak saya sama dengan apa yang dimaksudkan oleh tukang parkir. Jadi ya klop.

Hanya, saya tak mengerti, apakah Anda menerima pemikiran tersebut atau tidak? Bukan perihal klopnya. Bukan. Tapi, perihal pengendara motor yang disetop yang kemudian melambatkan motornya dan akhirnya   berhenti sesaat untuk memberikan kesempatan orang lain (saya) memutar balik mobil. Itu toleransi.

Kalau Anda menerima pemikiran tersebut, maka saya memiliki teman dalam merenungkannya. Jadi, begini. Setiap orang memiliki kebebasan memaknai sesuatu.

Seperti, tukang parkir yang telah menolong kami memaknai sebuah tindakan --pengendara motor yang berhenti sesaat  untuk memberi kesempatan kepada kami agar mudah memutar balik mobil--  sebagai wujud toleransi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi artinya --ini salah satu arti-- sifat atau sikap toleran. Dan, toleran artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Berkaca pada pengertian tersebut, ucapan "toleransi" oleh tukang parkir terhadap tindakan pengendara motor yang memberi kesempatan kepada saya untuk memutar balik mobil, tidaklah salah. Sebab, pengendara motor menenggang atau membolehkan kami memanfaatkan jalan terlebih dahulu untuk memutar balik mobil.

Istilah toleransi, selama ini lebih banyak dihubungkan dengan sikap orang menghargai perbedaan. Misalnya, perbedaan agama, keyakinan, suku, ras, golongan, kelompok, dan sejenisnya.

Pintu warung makan yang biasanya terbuka  pada bulan puasa (seperti saat ini) ditutup dengan kain agar orang yang sedang makan tak kelihatan, disebut sebagai wujud  toleransi.

Pun demikian, membiarkan orang beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya yang berbeda dengan agama atau keyakinan kita, dimaknai bahwa kita bertoleransi.

Tapi, fenomena di persimpangan gang atau jalan yang tanpa traffic light yang ramai oleh pengendara yang kadang mereka nyaris bertabrakan, jarang atau bahkan tak pernah kita mengaitkannya dengan toleransi. Padahal, di situ sering pengendara  saling mendahului. Pengendara lain seolah diabaikan. Bukankah ini salah satu area intoleransi?

Pun demikian, ketika ada pembagian bingkisan atau zakat, entah oleh instansi pemerintah atau lembaga keagamaan, yang sering orang berjubel dan berdesak-desakan, kita tak pernah menyebutnya itu sebagai bentuk intoleransi. Padahal, di situ orang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.

Kalau kita mau belajar toleransi, kata salah satu teman saya, lihatlah para pedagang di pasar. Para penjual ikan, misalnya, yang berada dalam satu los, mereka tak saling merebut pembeli.

Masing-masing membiarkan pembeli mau memilih siapa di antara mereka. Tak ada yang  memengaruhi; tak ada yang protes. Semua berlangsung nyaman.

Karena memang toleransi itu melahirkan suasana yang nyaman. Di situ ada toleransi, di situ dijumpai suasana yang nyaman. Hubungan antar sesama indah dan akrab.

Berbeda dengan, di situ tak ada toleransi alias intoleransi, di situ dijumpai suasana yang tegang. Hubungan antar sesama jauh dari keindahan dan keguyuban.

Bahkan, begini selanjutnya teman saya berkata, toleransi sebenarnya tak selalu dapat dilihat. Sebab, toleransi bermuara pada hati. Ketika kita bisa kontrol diri, misalnya, tak mengambil sambal kesukaan anak di atas meja makan saat hendak makan bersama, di dalam hati kita sudah tumbuh toleransi.

Toleransi dengan demikian tak jauh dari kita. Toleransi bersemayam di hati kita. Karenanya, menumbuhkan toleransi dapat dimulai dari hal-hal yang begitu dekat dengan kita. Suami dengan istri, anak dengan orangtua, adik dengan kakak dalam keluarga.

Saya merasa kadang gagal menumbuhkan toleransi sekalipun di dalam keluarga (sendiri), yang sedikit banyak memiliki kesamaan. Masih harus terus belajar, entah sampai kapan. Padahal, jauh lebih sulit  membangun toleransi di luar sana karena perbedaan begitu menganga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun