Ya, Mbakyu saya mengalami kecelakaan. Jatuh dari tumpukan kursi gara-gara mencari bangkai tikus yang diduga berada di atas almari. Sial! Mbakyu sampai patah tulang lengan atas sebelah kanan. Tindakan dokter membuat kondisi Mbakyu membaik. Tapi, harus kontrol dokter setelah pulang dari rumah sakit.
Agar kontrol mudah dilakukan, Mbakyu tinggal sementara di rumah kami. Sebab, rumah kami dekat dengan rumah sakit, tempat mbakyu operasi. Sementara rumah Mbakyu berada di tempat yang lebih jauh.
Selama tinggal di rumah kami, Mbakyu bercerita masa lalu, khususnya tentang Mak. Saya memang memintanya untuk bercerita tentang Mak tempo dulu. Sebab, waktu itu saya masih kanak-kanak sehingga tak semua tentang "perjuangan" Mak saya mengingatnya.
Mbakyu sangat mengetahui sepak terjang Mak, yang single parent waktu itu. Sebab, bapak berada di pulau lain karena harus menanggung persoalan politik. Ah, persoalan ini sangat memuakkan! Tak perlu diungkit. Kembali saja ke pokok tulisan.
Mbakyu yang membantu sepak terjang Mak waktu itu. Jadi, sekali lagi, Mbakyu yang mengetahui benar bagaimana Mak berjuang untuk menghidupi anak-anaknya semenjak ditinggal bapak. Sampai-sampai Mbakyu tak melanjutkan ke kelas 4, karena harus membantu Mak.
Tiap pagi buta, begitu kata Mbakyu, ia harus membeli gula aren di desa sebelah. Di rumah salah seorang yang memproduksi gula aren. Gula aren adalah gula yang dibuat dari air yang diperoleh dari pohon aren, sering disebut nira.
Caranya, tangkai buah pohon aren yang masih muda dipotong agar menetes niranya. Di ujung potongan tersebut diberi penadah yang dibuat dari batang bambu yang sudah dipotong. Nira pohon aren terkumpul dalam batang bambu tersebut. Nira pohon aren itulah yang dibuat menjadi gula aren.
Kata Mbakyu, gula aren tersebut lalu dibawa Mak ke pasar. Dijual. Sebagian hasil penjualan gula aren dibelikan bahan-bahan kebutuhan makan, misalnya ikan, terasi, garam, kerupuk, tempe, dan tahu. Tak cukup sampai di situ. Mak selanjutnya memasak bahan-bahan kebutuhan makan tersebut untuk dijual keliling. Dari rumah ke rumah.
Bahkan, tak hanya sebatas dari rumah ke rumah. Mak juga menjual masakan olahannya itu ke lokasi-lokasi orang panen padi. Jadi, dari satu sawah ke sawah yang lain. Mak membawa barang dagangannya itu dalam dunak digendong di punggung, yang diikat dengan selendang. Sehingga, saat Mak berjalan, dunak tetap berada di punggungnya.
Dunak adalah tempat untuk menaruh barang, yang dibuat dari anyaman bambu. Umumnya berbentuk persegi. Tanpa penutup, tapi bagian bawah tertutup. Agar barang yang dimasukkan ke dalamnya tak jatuh, brosot.
Itu dilakukan oleh Mak pada 1970-an, ketika saya masih kanak-kanak, belum mudeng apa-apa. Dari rumah, Mak membawa dunak berisi gula aren berjalan kaki. Pun demikian saat dari pasar ke rumah dengan dunak berisi bahan-bahan kebutuhan makan melekat di punggungnya.
Belum lagi, saat Mak harus mengelilingkan olahan masakannya dari rumah ke rumah dan dari sawah ke sawah. Betapa berat tanggung jawab Mak untuk menghidupi kami, anak-anaknya, waktu itu.
Dari situ saya berpikir, Mak sejatinya telah memaknai Valentine Day jauh lebih dalam dari kasih sayang. Sebab, Mak tak mendapatkan kasih sayang dari bapak, tapi Mak memberi kasih sayang yang begitu berharga bagi anak-anaknya.
Sekalipun Mbakyu harus berhenti sekolah demi membantu Mak tak berarti Mak tak mengasihi secara penuh terhadap Mbakyu. Tragedi itu mungkin harus terjadi dan Mak-lah yang mengambil keputusan. Agar, roda kehidupan keluarga tetap bisa berputar.
Hal itu barangkali memang untuk memenuhi "hukum tanam-benih". Saat petani membuat bibit padi, ia harus menanam butir-butir padi pilihan di dalam tanah, agar tumbuh bibit padi. Begitulah Mbakyu harus berhenti belajar di sekolah (mengubur cita-cita) demi kami, adik-adiknya, tetap bisa tumbuh; bisa hidup.
Apalagi Mak. Mak tentu mengubur dalam-dalam rasa malu, sedih, kecewa, putus asa, lelah, dan rasa lapar, agar anak-anaknya tetap bisa makan. Betapa tidak. Mbakyu bercerita bahwa waktu itu untuk mencukupi kebutuhan makan kami, Mak harus membuat gaplek karena jagung tak cukup, apalagi beras.
Sayang, gaplek tersebut dibuat dari singkong yang belum usia. Sebab, tak mungkin menunggu singkong sampai tua sementara keadaan perut anak-anak lapar.
Gaplek adalah singkong yang dikupas dan dikeringkan agar tahan lama. Gaplek dapat dibuat tiwul. Makanan tiwul terbuat dari tepung gaplek yang dimasak seperti menanak nasi.
Selain dibuat tiwul, gaplek bisa juga dibuat gatot. Makanan gatot terbuat dari gaplek yang gagal gara-gara lembap. Bahkan, kata mbakyu, gaplek yang mendekati membusuk karena lembap malah enak dibuat gatot. Ketika digigit terasa kenyal dan itulah sensasi gatot.
Merenungkan cerita Mbakyu, saya berpikir, boleh jadi kala itu Mak mengencangkan ikat pinggangnya demi anak-anaknya tetap dapat makan tiga kali sehari. Mak menahan lapar, tapi anak-anaknya dibuatnya kenyang.
Kalau pikiran saya itu benar, maka Mak sakit bukan karena hanya beban berat psikis, tapi juga beban fisik. Bekerja mati-matian yang harus didukung dengan cukup asupan makanan, tak demikian pada diri Mak. Sedih banget!
Kata Mbakyu, sakit Mak ditandai dengan kaki bengkak-bengkak dan dari kakinya itu keluar cairan. Tak lama, Mak meninggal.
Berdasarkan referensi yang saya baca, sakit yang ditandai dengan kaki bengkak-bengkak dan keluar cairan disebabkan karena kekurangan protein atau gangguan ginjal. Benar, ya dok? Mak kurang makan atau makan "apa saja" sehingga ginjalnya terganggu. Ah, Mak!
Mak tak mengerti apa itu Valentine Day. Mak tak mengetahui kapan diperingati Valentine Day. Yang Mak mengerti dan mengetahui, bahkan melakukannya, adalah bagaimana mengasihi anak-anaknya. Tapi, Mak tak mengasihi dirinya sendiri.
Waktunya begitu panjang, tak sehari, 14 Februari saja, tapi berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan sampai waktu di ujung Mak "pulang", kasih-sayangnya ditumpahkan buat kami, anak-anaknya.
Mak memaknai Valentine Day berbeda dengan banyak orang, lebih-lebih dengan generasi zaman kiwari. Mak tak menghadiahi kami cokelat, tapi kehidupan Mak seutuhnya.