Sekolah boleh memilih Kurikulum 2013 secara penuh (selanjutnya disebut Kurikulum 2013) untuk kegiatan pembelajaran. Sekolah juga diizinkan menggunakan Kurikulum Darurat untuk kelangsungan pembelajaran. Dan, sekolah pun diperbolehkan menerapkan Kurikulum Prototipe untuk aktivitas pembelajaran.
Sebagai pengingat, Kurikulum Darurat ada dua. Pertama, Kurikulum Darurat versi pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kedua, Kurikulum Darurat versi sekolah sendiri (mandiri). Keduanya penyederhanaan dari Kurikulum 2013.
Adanya tiga opsi penerapan kurikulum bagi sekolah seharusnya tak perlu. Sebab, capaian belajar siswa di sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 tak lebih baik daripada capaian belajar siswa di sekolah yang menerapkan Kurikulum Darurat.
Gambaran itu berdasarkan survei Kemendikbudristek terhadap 18.370 siswa kelas 1-3 SD di 612 sekolah di 30 kabupaten/kota di 8 provinsi, yang dilakukan April hingga Mei 2021.
Sementara itu, hasil survei Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Juli 2021, tentang pembelajaran di masa pandemi jenjang pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) menunjukkan catatan menarik berkaitan dengan penerapan kurikulum di sekolah.
Sebab, ada 59,2% sekolah menggunakan Kurikulum 2013; 31,5% sekolah menerapkan Kurikulum Darurat (penyederhanaan Kurikulum 2013 oleh Kemendikbudristek); 8,9% sekolah menggunakan Kurikulum Darurat (penyederhanaan Kurikulum 2013 secara mandiri); sisanya, 0,4% sekolah menggunakan kurikulum yang lain.
Data tersebut menunjukkan bahwa ada 59,2% sekolah pengguna Kurikulum 2013, yang capaian belajar siswanya kurang baik. Sementara itu, ada 40,4% sekolah pengguna Kurikulum Darurat (penyederhanaan Kemendikbudristek dan mandiri), yang capaian belajar siswanya lebih baik.
Melihat kenyataan itu, masih adanya opsi menggunakan Kurikulum 2013 bagi sekolah pada 2022 hingga 2024 mengisyaratkan bahwa capaian belajar siswa yang "kurang baik" akan bertambah panjang. Yang pernah terjadi pada 2021 akan terjadi pula pada 2022 sampai 2024.
Sekalipun, barangkali ada yang berbeda. Sebab, pada 2022, sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka (PTM), bahkan ada yang sudah 100%. Sementara itu, pada tahun-tahun sebelumnya sekolah melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Tapi, capaian belajar siswa mungkin tak jauh berbeda. Capaian belajar siswa saat PTM dan PJJ yang menggunakan Kurikulum 2013 boleh jadi relatif sama. Pun demikian halnya, capaian belajar siswa saat PTM dan PJJ yang menerapkan Kurikulum Darurat lebih kurang sama.
Sebab, hal yang membedakan capaian belajar siswa, saya pikir, bukan terletak pada cara pembelajarannya, PTM atau PJJ. Tapi, lebih terletak pada materi pembelajarannya. Beban atau muatan materi pembelajaran dalam Kurikulum 2013 lebih banyak daripada materi pembelajaran dalam Kurikulum Darurat.
Bukankah Kurikulum Darurat merupakan penyederhanaan Kurikulum 2013? Dengan begitu, materi pembelajaran dalam Kurikulum Darurat juga merupakan penyederhanaan materi dalam kurikulum 2013.
Jadi, wajar kalau capaian belajar siswa pengguna Kurikulum Darurat "lebih baik" dibandingkan dengan capaian belajar siswa pengguna Kurikulum 2013. Karena, siswa tentu lebih mudah menguasai sedikit materi (dalam Kurikulum Darurat) daripada banyak materi (dalam Kurikulum 2013).
Sekalipun materi dalam Kurikulum Darurat sedikit, tapi materi tersebut merupakan materi pokok dalam Kurikulum 2013. Toh memang, penyederhanaan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Darurat, baik yang dilakukan oleh Kemendikbudristek maupun sekolah (secara mandiri), mendasarkan pada materi-materi yang esensial.
Jadi, 40,4% sekolah pengguna Kurikulum Darurat dengan capaian belajar siswanya "lebih baik" sebetulnya secara esensial tak lepas dari muatan Kurikulum 2013. Oleh karena itu, tetap adanya opsi Kurikulum 2013 pada 2022 hingga 2024 sebetulnya tak efektif.
Apalagi, dalam masa pemulihan pembelajaran ini sudah seharusnya menghindari muatan kurikulum yang memberatkan siswa. Memulihkan motivasi belajar siswa, yang sempat menghilang karena dampak pandemi Covid-19, harus dimulai dari muatan kurikulum yang meringankan dan menyenangkan siswa.
Kurikulum Darurat dibuat tentu dalam rangka memulihkan motivasi belajar siswa dengan tetap mempertahankan materi esensi yang penting bagi tumbuh kembang siswa. Apalagi, Kurikulum Darurat sudah menunjukkan kebermanfaatannya terhadap sekolah yang pada 2021 sudah menggunakannya.
Maka, sejatinya pemerintah tinggal mendorong saja sekolah yang belum menerapkannya. Dengan cara, menawarkan dua opsi kurikulum, yaitu Kurikulum Darurat dan Kurikulum Prototipe untuk pembelajaran pada 2022 hingga 2024.
Menyediakan dua opsi kurikulum bagi sekolah untuk diimplementasikan, setidaknya juga memudahkan pemerintah untuk memantau dinamika pendidikan. Dan, agaknya kurang arif kalau menawarkan banyak opsi kurikulum justru menyulitkan, baik bagi pemerintah (sendiri) maupun sekolah.