Hari itu Agus mengajak Dewi, isterinya, serta ketiga anak mereka untuk pergi berbelanja ke supermarket. Agus terkenal sebagai orang tua yang sangat disiplin terhadap waktu. Jam 9 pagi kurang sepuluh menit ia mengingatkan Dewi dan anak-anak bahwa mereka segera berangkat. Namun sampai dengan jam 9 tepat, belum ada tanda-tanda bahwa mereka telah siap berangkat.
“Ayo anak-anak, kita segera berangkat. Matikan televisi, rapikan mainan kalian dan segera angkat tas ayah ke dalam mobil”, perintah Agus sembari menuju ke mobil.
Walaupun Agus telah mengulang kalimat tersebut, anak-anak tetap saja asyik di depan televisi sembari bermain. Akhirnya Agus kembali masuk ke rumah dan langsung mematikan televisi. “Sekarang kita berangkat. Ayo Irma, segera angkat tas Mama ! Andri, segera rapikan mainan”, perintah Agus.
“Kenapa harus aku yang membawa tas Mama? Andri saja yang membawakan”, Irma protes.
“Dasar anak malas ! Kalau begitu Irma yang membantu Naila memakaikan sepatu, Andri yang membawa tas Mama”, ulang Agus.
“Aku tidak mau membawakan tas Mama, ‘kan berat, jadi kak Irma yang membawa”, gantian Andri yang protes.
“Kalian semua memang bandel ! Ayo Irma, segera kerjakan, membawakan tas Mama atau memakaikan sepatu dik Naila, jangan jadi pemalas”, kembali Agus menghardik.
“Sudahlah, Mama saja yang membawa tas dan memakaikan sepatu adik”, ucap Dewi setelah menyelesaikan urusan di dapur.
Tiba-tiba Andri mengangkat tas dan membawanya masuk ke mobil. Setelah itu, ia kembali lagi masuk ruangan untuk merapikan mainan. Akhirnya Irma memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Dewi mengunci pintu rumah dan menyusul masuk mobil.
“Kalian ini selamanya tidak mau mendengar perintah Papa. Cobalah lain kali tidak usah diperintah, kalian sudah harus bisa membantu pekerjaan Papa dan Mama. Kalian ini sudah besar, jangan suka membangkang dan membantah”, Agus masih memarahi mereka sembari menghidupkan mesin mobil.
“Masak aku terus yang disuruh-suruh, ya aku jadinya gak mau”, Irma membela diri.
“Jangan membantah lagi Irma. Karena kamu anak Papa yang paling besar, jadi harus sudah bisa membantu tanpa disuruh lagi. Masak Papa mau menyuruh Naila yang masih kecil?”, Agus tak mau kalah.
Boros Celaan, Miskin Pujian
Coba perhatikan kejadian di atas, berapa banyak celaan dilakukan Agus kepada anak-anaknya, dan betapa kebaikan anak dalam kisah tersebut tidak mendapat apresiasi pujian sama sekali. Misalnya ketika Andri mengangkat tas mama dan membawanya masuk ke mobil. Juga ketika Andri kembali masuk rumah untuk merapikan mainan. Demikian pula ketika Irma memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Itu semua jelas kebaikan anak-anak, namun tidak ada apresiasi positif sama sekali.
Yang terlontar dari Agus hanyalah kata-kata celaan atas ketidaksiapan dan ketidaktaatan anak-anak menjelang berangkat tadi. Padahal celaan semacam itu bisa masuk kategori kekerasan secara psikologis terhadap anak.
Kekerasan secara psikologis memang banyak dialami anak-anak. Bobbi dePorter dan Mike Hernacki menuliskan bahwa anak-anak setiap harinya lebih banyak mendapatkan kata-kata celaan daripada pujian dan dorongan kebaikan. Artinya, orang tua ataupun lingkungan kerap menempatkan anak-anak secara tidak proporsional. Anak-anak dituntut berperilaku seperti orang dewasa, sehingga apabila melakukan kesalahan perlu dicela dengan kata-kata yang tak mendidik. Termasuk ancaman-ancaman menakutkan yang sering didapatkan anak-anak dari orang tuanya.
Anak yang secara konsisten mendapatkan celaan dari orang tua dan lingkungannya akan sangat mudah terpengaruh secara psikologis, dan memberikan bekas yang sangat mendalam pada kepribadiannya. Banyak anak-anak muda yang memiliki masalah dengan temperamennya, ternyata bermula dari pembiasaan yang ditemukan di rumah serta lingkungan. Celaan dan kemarahan orang tua membuat anak mudah mereproduksi celaan dan kemarahan tersebut kepada orang lain.
Kita masih ingat kejadian di akhir tahun 2007 lalu, saat kota Kediri dikejutkan oleh pembunuhan FA (4 tahun) yang dilakukan oleh IE, anak berusia 11 tahun. IE sangat marah ketika ia sering dijuluki botak oleh teman temannya dan ditirukan oleh FA. Sebenarnya ”botak” adalah sindirian karena ayahnya botak. Selain ia sering melihat bagaimana sang ayah marah, IE juga ingin mempraktekan gaya para jagoan di televisi, untuk membuat teman-temannya ketakutan dan tidak menghinanya lagi. Ternyata aksi IE meniru ayahnya, berakhir dengan kematian FA.
Dorothy Law Nolte : Anak Belajar dari Kehidupannya