“Isteri saya sudah empat bulan ini tidak mau berdekatan dengan saya. Ia menolak tidur bareng dengan saya, dan tidak mau makan satu meja dengan saya. Ia melakukan semua aktivitas di rumah sendiri, dan membiarkan saya mengerjakan aktivitas di rumah sendirian. Kami tinggal serumah, tapi berkegiatan sendiri-sendiri dan tidak saling bertegur sapa”, kata seorang suami, curhat kepada saya lewat telepon.
Konflik dalam kehidupan rumah tangganya sudah hampir berada di puncak. Suami dan isteri tidak bertegur sapa selama empat bulan, walau mereka tinggal se rumah dan memiliki dua orang anak yang cantik dan tampan. Pertanyaan saya adalah, “Bagaimana sikap anda dalam kondisi konflik seperti itu?”
“Saya bingung dan stress Pak. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan”, jawabnya.
Gejala Saling Menjauh
Ini yang sering saya sampaikan di berbagai forum dan tulisan, tentang gejala saling menjauh antara suami dan isteri. Saya pernah menuliskan hal ini pada seri Karakter Suami Ideal di Kompasiana beberapa waktu yang lalu.
John M. Gottman dan Nan Silver menyebutkan empat gejala saling menjauh antara suami dan isteri. Pertama adalah mengkritik, kedua mencela, ketiga “membangun benteng”, dan keempat menyalahkan pasangan. Keempatnya merupakan gejala saling menjauh, yang menyebabkan suami dan isteri berada pada posisi dan jarak psikologis yang semakin jauh.
Isteri tidak mau berbicara, menegur dan membantu urusan suami di rumah. Tidak mau pula tidur sekamar. Tentu ini ada sebabnya, ada pemicu, dan ada latar belakangnya. Saya tidak akan masuk terlalu jauh untuk melihat sebab di balik sikap isteri ini, karena ini memerlukan waktu dan kajian tersendiri untuk menyelami. Kesempatan kali ini saya hanya akan menyampaikan munculnya gejala tersebut dan usaha mengatasinya.
Tampak suami dan isteri sudah berada pada tahap ketiga, yaitu “membangun benteng”, dimana masing-masing menjadi Tugu Monas. Berdiri kokoh dan kaku. Diam tidak bergerak dari tempat berpijak. Menyatakan dengan penuh keangkuhan “Inilah aku, seperti ini diriku, dan aktu tidak peduli apa pendapatmu kepadaku”. Itu yang disebut sebagai membangun benteng.
Ujung dari membangun benteng adalah merasa diri benar dan menyalahkan pasangan. “Ini bukan salahku. Ini semua salahmu!”
Bongkar Benteng Anda !
Langkah pertama anda adalah membongkar benteng keangkuhan ini. Anda harus rela melakukannya. Jika tidak rela, paksalah diri untuk melakukannya. Benteng keangkuhan ini tidak ada manfaatnya dalam kehidupan keluarga anda, justru akan semakin merusak dan menghancurkan kebahagiaan yang sudah anda bangun selama ini. Ya, segera bongkar benteng itu.
Anda berdua yang harus melakukannya, karena tidak ada orang lain yang bisa membantu anda untuk merobohkannya. Ini menyangkut ego dan konsep harga diri anda berdua. Tidak maukah anda menurunkan kadar ego, dan mengorbankan sesuatu yang anda sebut sebagai “harga diri”, untuk kebaikan keluarga anda? Apalah artinya perasaan menang anda terhadap pasangan, jika hal itu hanya akan melukai hati dan perasaannya ?
Bukankah anda justru akan merasa bahagia apabila mampu membahagiakan pasangan dan bukan menyakitinya? Tidak pernah ada kebahagiaan dalam menyakiti dan melukai hati pasangan. Benteng anda itu, keangkuhan yang dimonumenkan itu, sangat menyakitkan. Anda berdua tengah berada dalam fase saling menyakiti diri sendiri, dan menyakiti pasangan. Hentikan itu segera.
Lihat tatap mata kedua anak anda yang belum mengerti dosa. Mengapa tega anda mengotorinya? Bukankah mereka adalah buah cinta anda? Jaga mereka, dan jangan rusak masa depan mereka karena keangkuhan anda berdua.
Mendekatlah Semakin Dekat
Jika anda sudah mampu merobohkan benteng keangkuhan, anda akan menemukan kembali jati diri anda. Seutuhnya, tanpa kamuflase di balik benteng. Anda berada dalam suasana menanggalkan tuduhan, caci maki, melempar kesalahan kepada pasangan. Anda telah menundukkan ego dan menyerahkan sebagian dari harga diri anda, untuk kebahagiaan pasangan dan kebaikan keluarga.
Mendekatlah semakin dekat kepada pasangan anda. Benteng sudah berhasil anda robohkan, kini saatnya anda membangun relasi positif dengan pasangan, tanpa sekat, tanpa hambatan psikologis berupa benteng keangkuhan.
Pelan, tapi pasti, berjalanlah mendekat kepada pasangan. Ya, terus mendekatlah. Sentuh tangan pasangan, sentuh wajah pasangan, cium dengan lembut tangannya. Tatap matanya dalam-dalam, ucapkan dengan tulus, “Maafkan aku. Terlalu banyak kesalahanku”. Lebarkan kedua tangan anda, buka hati, perasaan dan pikiran, lalu peluk pasangan anda.
Saat tubuh merasakan sentuhan, neurotransmitter di otak akan mengirimkan hormon endomorfin ke dalam aliran darah dengan jumlah yang cukup besar. Hormon tersebut mampu menurunkan ketegangan saraf dan tekanan darah. Anda telah berhasil mengalahkan kesombongan dan keangkuhan. Anda telah berhasil merobohkan benteng yang selama empat bulan ini membatasi dan menjadi sekat hati anda berdua. Seperti robohnya tembok Berlin, rayakanlah keberhasilan anda berdua.
Secara psikologis, mendapat pelukan memiliki makna memperoleh dukungan. Hal ini bisa mendatangankan kekuatan bagi pasangan anda yang sedang sedih dan sekaligus akan cepat membuatnya merasa lebih bahagia. Bagi anda, aktifivitas memeluk pasangan akan meningkatkan rasa kepercayaan diri dan kehangatan hubungan dengan pasangan. Tidak harus berlama-lama, memeluk sebentar pun boleh, karena produksi hormon endomorfin bisa bertahan beberapa waktu setelah pelukan dilepas.
Kini nikmati kebahagiaan anda, karena hidup dalam kedamaian, tanpa sekat berupa benteng keangkuhan yang anda ciptakan bersama pasangan. Rayakan cinta anda, seperti pengantin baru. Buat prasasti, agar benteng keangkuhan itu tidak pernah dibangun lagi. Selamanya.
Pancoran Barat, 19 Januari 2012