Istilah kuda hitam sering kali di dengar di dunia olah raga. Dalam dunia olah raga, kuda hitam disematkan kepada atlet atau tim yang tidak di unggulkan tetapi mempunyai potensi dan atau bisa menjadi juaranya. Kerap kali kuda hitam di remehkan oleh beberapa kompetitor maupun pengamat olah raga. Meremehkan diri sang kuda hitam inilah yang menjadi faktor determinan dia keluar menjadi jawaranya. Sang kompetitor dan beberapa pengamat kadang lupa dengan unsur teknis – non teknis yang mampu mengembalikan keadaan. Lebih disederhanakan lagi, kuda hitam adalah sesuatu yang tidak diperkirakan karena sering kali diremehkan keluar membuat kejutan.
Dalam konteks politik, kuda hitam selalu menjadi pihak ketiga yang menebar ancaman bagi dua atau lebih kompetitor yang sedang bersaing memperebutkan kekuasaan. Kompetitor tersebut merupakan pihak – pihak status quo yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Berangkat dari hal tersebutlah kadang sosok kuda hitam muncul sebagai anti tesis dari status quo tersebut. Artinya, ada sebuah fenomena yang muncul diantara dua kekuatan mainstream yang tengah bertarung dalam konstelasi politik.
Eskalasi politik kontemporer dalam negeri, memunculkan sebuah kontradiksi antara pendewasaan politik dengan realitas yang terjadi. Realitas politik dalam negeri hari ini, hanya melahirkan karut marut di dalamnya. Perkembangan terbaru adalah karut marut dalam pesta demokrasi terdekat, yaitu Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 secara langsung yang akan dilaksanakan pada 9 Juli nanti. Pilpres yang sudah menetapkan dua pasangan Capres – Cawapres ini yaitu pasangan Prabowo – Hatta (nomor ururt 1) dan Jokowi – JK (nomor urut 2) dalam perkembangannya lebih melahirkan karut marut daripada suntansi dari pendewasaan demokrasi Indonesia.
Karut marut yang terjadi dalam proses menuju pilpres kali ini boleh di bilang paling parah daripada dua pelaksanaan pilpres secara langsung sebelumnya pasca reformasi. Di awal kedua capres ini ramai dibicarakan akan vis a vis dalam pilpres nanti, black campaign sudah menjadi santapan sehari – hari masyarakat. Diskriminasi ras, agama hingga isu HAM menjadi komoditas dari black campaign tersebut. Permasalahan ini belum selesai, institusi Polri dan TNI lewat babinsanya dijadikan objek saling jegal, ironisnya pelaku – pelaku ini adalah para elite politik itu sendiri. Dan masih banyak komoditas lainnya yang dijadikan alat untuk saling membunuh karakter personal satu sama lain.
Tidak cukup di situ, karut marut yang berkembang tidak saja di ranah kontestan pilpres 2014 kali ini. Penyelenggara pilpres (KPU), pemerintah dan pihak yang terkait pun turut serta menjadi bagian dari karut marut ini menjadi bola salju. Permasalahan DPT berpotensi menjadi masalah tersendiri jika transparansi penentuannya tidak ada. Hari ini kemungkinan itu bisa saja tidak terjadi, tetapi pasca pemlihan nanti bisa saja muncul kepermukaan untuk dipermasalahkan. Dan yang lebih ironis lagi adalah masalah mengenai konstitusi. Pasal 6A UUD 1945 dan pasal 159 ayat 1 UU nomor 42 tahun 2008 tentang pilpres yang multi tafsir. Keberadaan konstitusi tersebut yang selama ini luput dari pengamatan dan muncul di jelang pilpres kali ini sungguh menjawab bahwa hukum dan demokrasi kita lemah dari segala lini. Jika permasalahan konstitusi ini tidak segera diselesaikan tentu berpotensi besar terjadinya konflik di antara dua kubu ini.
Realitas karut marut di atas menjadi fenomena tersendiri yang akan muncul dari dua kekuatan mainstream hari ini. Baik Prabowo maupun Jokowi saat ini merupakan dua kutub kekuatan yang menjadi sorotan khalayak ramai. Ketika dua kutub kekuatan tersebut, sampai hari ini hanya melahirkan sisi negatif yang berkembang daripada sisi positifnya, tidak salah kemudian jika masyarakat merasa jenuh dan bersikap apatis terhadap proses demokrasi di tanah air ini. Apalagi di dukung dengan proses yang jauh dari sempurna. Sikap apatis ini dalam konteks demokrasi politik, tentu akan membentuk golongan baru dalam masyarakat, yaitu golongan putih (golput).
Ancaman mengintai dalam proses demokrasi kita, yaitu lahirnya kuda hitam berkonotasi negatif “golput”. Jika penyelenggara pemilu (KPU) tidak sigap dalam merespon apa yang terjadi hari ini, tidak menutup kemungkinan kuda hitam ini menerobos masuk di sela – sela dua kekuatan yang salng berkompetisi Prabowo – Jokowi. Kesigapan KPU bisa diberikan dalam bentuk pendidikan politik ke akar rumput. Karena selama ini pendidikan politik diberikan tidak sampai ke akar rumput, hanya sekedar formalitas saja tanpa subtansi yang berarti.
Jember, 15 Juni 2014