---- Liburan sekolah, antara tahun ”8x sampai tahun ’9x ----
“Mbah Uti, aku pergi dulu nganter es kucir ya sama Mbah Kung”, aku minta ijin ke Mbah Uti untuk membantu Mbah Kung mengantar beberapa termos berisi es kucir ke warung-warung di sekitar desa tempat tinggal Mbahku itu. Kami berboncengan menggunakan sepeda onthel merk Kobe warna hitam kepunyaan Mbah Kung. Setiap liburan sekolah aku pasti tidur di rumah Mbah Kung. “Kalau kamu nginap di rumah Mbah, kamu harus bantuin Mbah Kung dan Mbah Uti ya”, begitu pesan ibuku jika aku pergi ke rumah Mbah Kung. Setiap liburan aku pergi kesana diantar sama Paklik, adik ibuku yang paling kecil.
”Jo, bangun, ayo bantuin Mbah”, aku terbangun dari tidurku yang nyaman di kamar kidul, tempat biasanya aku tidur jika di rumah Mbah. ”Iya Mbah Kung”, jawabku sambil mengusap mataku yang sebenarnya masih mengantuk. Pagi itu, seperti biasanya kalau di rumah Mbah, aku membantu Mbah Kung memotong kangkung, yang nantinya dicampur dengan bekatul dan ditambah sedikit air untuk memberi makan ayam-ayam kampung peliharaan Mbah Kung. Ketika aku membuat makanan untuk ayam-ayam itu, Mbah Kung sedang sibuk membersihkan kandang dari kotoran ayam-ayam tersebut, setelah itu Mbah Kung mengumpulkan telur-telur untuk dijual hari ini. ”Nanti kita jual telur-telur ini ya Jo, lumayan buat beli bibit lele”, begitu kata Mbah Kung padaku yang sedang mencampur kangkung dan bekatul ditambah sedikit air. Mbah Kung memang berencana membuat kolam lele di halaman belakang rumahnya, dekat dengan kandang ayam. Kata Mbah Kung, nanti lele nya bisa dijual atau digoreng kalau cucunya pada ngumpul di rumah. Setelah selesai membuat adonan untuk makanan ayam, aku membagikan makanan di kandang-kandang ayam agar makanan itu bisa segera disantap untuk sarapan para ayam yang sudah mulai kelaparan.
Di dapur, Mbah Uti sedang membuka freezer-nya, menata es kucir yang diambil dari frezer dimasukkan ke dalam termos-termos yang nantinya aku dan Mbah Kung mengantarkannya ke warung-warung. Setelah selesai memberi makan ayam, aku cuci tangan dan membantu Mbah Uti menata es kucir tersebut. ”Kamu bungkusin saja es kucir yang baru Mbah racik itu”, begitu kata Mbah Uti. ”Baik Mbah, aku akan membungkusnya satu per satu”, kemudian aku mulai membungkus es kucir itu sampai setengahnya. ”Sudah kamu mandi dulu sana Jo, biar Mbah Uti yang meneruskan membungkus es kucir itu”. Kemudian aku beranjak ke halaman belakang untuk mengambil handuk di jemuran untuk aku mandi. Setelah selesai mandi aku dan Mbah Kung sarapan dan bersiap untuk mengantarkan es kucir tersebut ke warung-warung.
*****
---- Cuti kerja, tahun 200x ----
Aku pulang dari Jakarta, setelah beberapa bulan aku kerja karena ada saudara yang mau menikah, Alhamdulillah atasanku baik, walaupun aku baru beberapa bulan kerja, aku diperbolehkannya untuk cuti. Setelah sehari di rumah, aku meminta ijin pada ibu untuk mengunjungi Mbah Kung dan Mbah Uti di rumahnya. ”Ya sudah pergi sana, hati-hati, Mbahmu sudah kangen sama kamu itu”, Ibu berkata begitu sambil meneruskan membuat pecel dari daun-daunan hijau ditambah dengan kembang turi kesukaanku.
”Assalamu’alaikum, Mbah Kung, Mbah Uti ini Jo datang”, begitu teriakku dari pintu depan rumah Mbah Kung. Nggak ada jawaban, mungkin Mbah Kung sama Mbah Uti lagi di halaman belakang, jadi tidak mendengar salamku. Aku langsung membuka pintu rumah dan meletakkan tas ranselku di kamar kidul, lalu bergegas pergi ke halaman belakang. Ternyata Mbah Kung sedang membersihkan kolam lele dari daun-daun yang berguguran, sementara Mbah Uti sedang memberi makan ayam-ayam di kandangnya. ”Biar Jo yang ngasih makan ayam-ayam itu Mbah Uti”, Mbah Uti dan Mbah Kung langsung menengok dan sedikit kaget mendengar suaraku. ”Oalah kowe to Jo, kok kamu balik pulang, opo prei?”, Mbah Uti heran karena aku baru beberapa bulan kerja kok sudah pulang lagi. Memang aku tidak menceritakan ke Mbah Kung dan Mbah Uti kalau aku mau pulang karena ada saudara yang nikah. ”Jangan beritahu Mbah Kung dan Mbah Uti ya Bu, kalau Jo mau pulang, biar surprise”, begitu pesanku lewat telepon ke ibuku beberapa hari yang lalu ketika aku masih di Jakarta.
Setelah aku mencium tangan Mbah Uti dan Mbah Kung, aku membantu Mbah Uti untuk memberi makan ayam-ayam itu seperti waktu aku liburan sekolah dulu. Aku sempat heran kok Mbah Uti nggak bikin es kucir, biasanya kalau pagi begini yang ngurusin ayam itu Mbah Kung sedangkan Mbah Uti ngurusin es kucir. Setelah kerjaan di halaman belakang selesai, kami berbincang di dapur sambilMbah Uti masak dan Mbah Kung istirahat sambil merokok kebo merah kegemarannya. ”Kok gak bikin es kucir Mbah Uti, kenapa?”akhirnya aku menanyakan hal itu untuk menjawab rasa heranku. Sambil meneruskan masak Mbah Uti berkata ”Freezernya lagi rusak le, sudah beberapa minggu ini”. Sambil mengepulkan asap rokoknya Mbah Kung kemudian menyahut, ”Opo kowe punya duit le, gajimu kan gedhe kerja di Jakarta, Mbah Kung pinjem duitmu buat beli freezer baru, kemarin kata tukang reparasinya, freezer itu sudah tua dan rusaknya parah, tidak bisa diperbaiki lagi”, begitu kata Mbah Kung sambil matanya menatap freezer itu dengan tatapan sedih. ”Wah, Jo nggak punya duit untuk beli freezer Mbah Kung, gaji Jo habis buat biaya pulang pergi ke Jakarta, maafkan Jo ya Mbah Kung, Mbah Uti”. ”Yo wis ora popo, sing penting kowe sehat, gajimu ditabung wae, dipakai modal nikah nanti”, begitu kata Mbah Uti. ”Inggih Mbah”, jawabku dengan nada sedih karena tidak bisa membelikan freezer buat Mbah Kung dan Mbah Uti.
*****
---- Lebaran, Nopember 2005 ----
Ketika aku berkunjung ke rumah Mbah Kung untuk bersilaturahmi pas lebaran, aku pergi ke dapur dan melihat ada freezer baru untuk membuat es kucir, perasaanku campur aduk waktu itu, ada senengnya karena Mbah Kung dan Mbah Uti bisa menjalankan usaha es kucirnya lagi, ada sedihnya karena aku tidak bisa membelikannya, aku hanya bisa berdo’a semoga yang membelikan freezer itu dilimpahi keberkahan dari Allah. Lebaran waktu itu aku sangat gembira, kami sekeluarga besar bisa kumpul semua, ditambah masakan Mbah Uti yang mantap, kami sekeluarga lahap sekali waktu makan bersama. Setelah makan bersama, kami lanjutkan dengan acara sungkeman. Aku mengeluarkan kamera saku yang aku beli dari Jakarta untuk mengabadikan moment itu supaya bisa jadi kenangan. ”Kowe wis tuku kamera to le”, kata Mbah Kung, ”Kalau gitu Mbah Kung difoto sama Mbah Uti ya”. ”Iya Mbah, mau difoto dimana Mbah?” sahutku. ”Wis, disini saja” sambil duduk di kursi tamu dan mengajak Mbah Uti untuk duduk juga. Akhirnya aku foto Mbah Kung dan Mbah Uti 3 kali jepretan.
”Si Adi itu gimana le, nanti kalau sudah lulus mau kerja dimana ? Tolong diurus ya !”, begitu kata Mbah Kung padaku. Adi adalah saudara sepupuku yang sekarang sekolah di STM jurusan mesin, anak dari Paklik, adik ibuku yang paling kecil. ”Inggih Mbah, nanti Jo yang ngurus, insyaAllah nanti Jo carikan informasi kerjaan ke teman-teman Jo”.
*****
---- Janji yang belum terpenuhi, 2006 ----
”Tulit tulilit tulit”, hape polik klinik ku bunyi, ternyata Ibu menelepon dari kampung. ”Jo, kuatkan hatimu ya Nak, Mbah Kung meninggal”, Ibu berkata sambil menahan tangisnya. Hatiku mendadak diliputi kesedihan, langsung aku bergegas menghadap atasanku, meminta ijin untuk pulang karena kakek yang sangat aku sayangi dan hormati meninggal. Setelah itu aku menghubungi kakakku yang bekerja juga di Jakarta. Aku, kakak dan keluarganya pulang ke kampung.
Di depan pusara kakekku aku berkata, ”Mbah Kung, Jo belum bisa memenuhi permintaan Mbah Kung. Semoga Mbah Kung tenang di alam sana”. Setelah itu aku mendo’akan Mbah Kung dan kembali pulang ke rumah masih dengan kesedihanku.
Siapakah Aku? Aku adalah Paijo.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mbah Kung, saya sudah memenuhi janji itu, si Adi sekarang sudah bekerja. Terimakasih ya Allah