Dea memutuskan tak akan mengenal cinta lagi. Baginya, malam lebih setia, luka lebih mengerti dirinya.
"Dea."
Suara-samar ada yang memanggil namanya, tapi tak tahu dari arah mana datangnya.
"Siapa yang memanggilku?"
"Aku, Dea, aku di sini."
Dea melihat seorang perempuan cantik di sudut ruangan tengah tersenyum padanya. Tapi, raut mukannya terlihat dalam kesedihan.
"Siapa kamu?"
"Apakah kamu tidak mengenaliku?"
Dea mengamati lebih seksama wajah perempuan itu. Ia memutar ingatannya, tap, ia tak menemukan wajah ayu itu.
"Tidak."
"Bangkitlah, lihat dirimu dalam cermin."
Dea yang sedari tadi berbaring perlahan bangkit. Ia menatap cermin di atas meja riasnya.
"Kenapa wajahmu sama denganku?"
"Aku adalah dirimu, Dea. Kembalilah, jangan berjalan dalam kegelapan yang sunyi tanpa ujung."
Dea menatap lekat perempuan yang mengaku dirinya itu.
"Apa pedulimu?"
"Aku adalah hati kecilmu, dengarlah, aku masih ingin menikmati kehangatan matahari. Ingin menghapus luka dan menyulam cinta yang lain lagi. Lihatlah kecantikanku, pasti masih banyak yang mengharapkan cintaku."
Bimbang menyusup dalam hati Dea.
"Benarkah?"
"Percayalah, Dea."
Dea melihat cermin lagi, ia melihat lebih seksama wajah ayunya. Ketika berpaling, perempuan itu sudah tak ada di sudut ruangan itu.
Dea dalam kebimbangan, ia memutar lagi percakapan tadi dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan mengikuti kata perempuan tadi.
"Alhamdulillah, masa kritisnya sudah berlalu. Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Tanya lelaki berbaju putih yang sedari tadi mencemaskan keselamatan Dea.
"syukur alhamdulillah..., entahlah, Dok, saya tidak tahu kenapa Dea bisa senekat ini," jawab perempuan yang beranjak tua sambil mengusap pipinya yang basah.