Yang menggelitik adalah kata-kata yang digunakan pemimpin mahasiswa itu dalam sebuah jumpa pers resmi. Dia mengatakan: "Kami awalnya mau demo tanggal segitu, tapi ternyata tanggal 20 ada yang mainin isu lengserkan Presiden. Makanya, kami jadi (unjuk rasa) tanggal 21."
Saya memang bukan mantan pemimpin mahasiswa, tapi saya pernah dididik dalam lingkungan kampus era 90an. Setahu saya, mahasiswa juga diberi pelajaran teknik-teknik presentasi, bahkan saat ini, banyak sekali tugas-tugas mahasiswa yang harus dilakukan dengan presentasi, baik kelompok ataupun mandiri. Dengan tampilan 'pemimpin' mahasiswa yang dipilih sebagai juru bicara oleh berbagai pemimpin BEM seluruh Indonesia dalam acara resmi di istana, di hadapan para wartawan beneran itu, kita dapat menilai seberapa pantas kapasitas para 'pemimpin' mahasiswa itu menyandang gelar yang disematkan kepadanya. Yang mengherankan, hal itu dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas yang menyandang nama negara ini di belakangnya, yang berpusat di pusat pemerintahan, yang setiap hari tentu menyimak dan dapat mempelajari bagaimana para pejabat publik itu berkomunikasi dan mempresentasikan ide-idenya.
Bagaimana seseorang memilih kata yang diucapkan, apalagi di tempat yang cukup sakral dan eksklusif sesungguhnya menunjukkan seberapa tinggi kapasitas dirinya, apa bacaan-bacaan yang menjadi referensinya dan bagaimana dia menyikapi lingkungan sekitarnya. Pemilihan kata yang acakadut dan bias semacam 'segitu', 'mainin isu', justru dapat menunjukkan bahwa para 'pemimpin' mahasiswa itu sangat boleh jadi hanya para mahasiwa alay yang mencoba mencari panggung.
Tidak usah berharap mereka membaca referensi-referensi sebagaimana aktifis jaman dahulu yang kenyang dengan berbagai bacaan berat dari seperti Derrida atau Foucoult. Jangan-jangan, referensi mereka hanyalah acara-acara TV yang alay, dengan para pembawa acara keroyokan dan para penonton di pinggir panggung yang tak henti menari-nari tanpa henti. Sunggih memprihatinkan (sebagian pemimpin) mahasiswa jaman ini.