Sayangnya, tangisan itu bukan karena adanya kesadaran kehidupan masyarakat yang makin berat di masa pemerintahan ini 'karena rakyat banyak menderita sebagai akibat dampak kenaikkan harga BBM sekarang', sebagaimana Bapak tuliskan. Sayang sama sekali bukan Pak, namun semata-mata karena persoalan yang sangat personal, yaitu: 'Ia tak kuasa menahan air mata karena terharu setelah membaca puisi ciptaan Presiden pertama RI Soekarno sesaat sebelum memukul gong penanda dibukanya kongres tersebut. Puisi ciptaan Bung Karno yang dibacakan Megawati dalam acara pembukaan kongres itu berjudul "Aku Melihat Indonesia". Judul puisi itu sama dengan tema Kongres IV PDI-P yang berlangsung mulai 9-12 April 2015. Megawati langsung memekikkan kata "merdeka" dengan suara terisak.'
Saya membayangkan suasana yang sangat personal sekali waktu itu. Dalam acara resmi sebuah partai, dibacakan oleh Ketua Umum incumbent dan juga sepertinya akan melanjutkan tahta berikutnya, sebuah puisi yang merupakan ciptaan sang ayah, yang memang sebetulnya adalah Bapak seluruh rakyat Indonesia. Yang menjadi soal adalah, sang ketua umum partai itu seperti tidak sadar diri bahwa partai yang didudukinya bukanlah rumah pribadinya seumur hidup, seolah-olah itu adalah warisan yang tidak ada orang yang boleh menyentuhnya. Apalagi itu dengan embel-embel menolak voting, karena merupakan produk barat. Lah kemarin pemilu itu bukannya voting? Dan bukannya dirinya diuntungkan dengan kemenangan partainya dalam pileg dan juga pilpres? Apa mau pakai musyawarah mufakat dengan rakyat lebih dari 150 juta hak pilih ini?
Terus terang saya muak dengan sikap, perilaku dan kata-kata ketua umum partai yang selalu memekikkan 'Merdeka', tetapi sepertinya memasung kemerdekaan para anggota partainya sendiri untuk berpendapat. Memuakkan.