Yang menarik dalam konflik ini adalah sikap yang cenderung diam, pasif dan seperti mengikuti kemana arah kebijakan pemerintah yang ditunjukkan oleh sebagian besar anggota DPR kubu Aburizal Bakrie. Tidak terasa adanya perlawanan yang kuat dari anggota DPR, hanya terdapat perlawanan dari beberapa petinggi partai, terutama ARB sendiri dan juga Idrus Marham sebagai Sekjen dan Ade Komaruddin sebagai ketua Fraksi PG di DPR (lihat berita ini). Sebagian besar anggota yang lain sepertinya ingin mencari aman, sehingga karena sebenarnya mereka nothing to loose apabila bersikap seperti itu. Alasan yang digunakan adalah kesetiaan kepada partai, bukan kepada orang per orang, sebagaimana diungkapkan oleh Meutia Hafid, salah satu anggota DPR kubu ARB yang ditengarai menyeberang ke kubu Agung Laksono (lihat berita ini). Saat ini, kubu Agung Laksono sudah mengklaim bahwa sebanyak 61 anggota DPR kubu ARB sudah hengkang dan masuk ke kubu mereka (lihat berita ini dan ini). Saya belum menemukan berita tersebut pada laman kompas. com yang biasanya relatif lebih bisa dipercaya. Namun tiadanya bantahan dari kubu ARB dan ungkapan Meutia Hafids yang cukup lugas tadi menunjukkan bahwa klaim tersebut bukanlah mengada-ada.
Mudahnya anggota DPR dari kubu ARB hengkang menunjukkan bahwa memang tidak ada ideologi yang menjadi pembentuk sebuah partai. Berbeda dengan partai-partai era Orde Lama yang dengan jelas orang dapat mengenali ideologi yang diusungnya, apakah itu Islam, Nasionalis ataupun Komunis, saat ini semua partai sepertinya mengusung ideologi yang relatif serupa. Kalaupun ada perbedaan, mungkin itu bukan ideologi, namun hanya sekedar simbol-simbol dan tampilan luar. Konsekuensi dari kondisi tersebut, tidak ada pula ideologi yang menjadi penyebab pecahnya sebuah partai. Kalaupun ada, maka ideologi itu bernama: KEPENTINGAN. Kepentingan siapa? Tentu bukan kepentingan rakyat dan negara, namun sangat jelas diindikasikan adalah kepentingan orang, pribadi dan golongan. Bahkan mungkin dapat dikatakan, bahwa ideologi ini hanyalah masalah perut semata. Alangkah rendahnya.