Sebuah media cetak milik mahasiswa Indonesia di Al-azhar Mesir, mengangkat tema hangat mengenai kejadian baru-baru ini yang dialami beberapa mahasiswa Indonesia di Mesir. Pelecehan seksual atau tindak criminal psikis yang menyebabkan trauma berkepanjangan bagi penderitanya. Trauma ini bisa berupa jangka pendek yang yang membuat korban melakukan aksi balas dendam pada si pelaku ataupun orang lain, ataupun jangka panjang yang menyebabkan stress karena sulitnya untuk melupakan kejadian tersebut dan perubahan pola fikir.
Seorang mahasiswa bercerita dengan seloroh di media tersebut bahwa suatu malam ia berangkat dari Hay Asyir (komplek mahasiswa) menuju Rab’ah (wisma nusantara) dengan menggunakan taksi pada tengah malam. Ketika ia sampai di tujuan dan ingin memberikan ongkos taksi, saat itu sang supir yang berperawakan besar itu memberikannya isyarat dengan tangannya untuk melakukan hubungan sesama jenis dengan imbalan gratis ongkos taksi. Alih-alih ingin menghangatkan badan karena pada saat itu musim dingin, sang supir taksi sepertinya sudah biasa melakukan hal tersebut. Langsung saja, mahasiswa itu menolak dan pergi meninggalkan taksi.
Kejadian lain, kali ini di dalam bus yang sering ditumpangi oleh mahasiswa asing. Waktu itu bus yang sesak dengan penumpang yang memenuhi setiap celah yang kosong didapati seorang bapak separuh baya yang gemuk besar. Kali ini, seorang mahasiswi yang menjadi korban. Karena kondisi bus yang penuh sesak, sang bapak merapat ke tubuh mahasiswi tersebut dengan menempelkan seluruh tubuhnya. Al hasil sang mahasiswi langsung saja berpindah, namun kejadian itu terus berlangsung hingga si bapak tersebut ditegur oleh teman mahasiswi tadi.
Ini adalah beberapa contoh pelecehan seksual dalam lingkungan yang notabenenya masih ketat dalam praktik agama. Bisa dibayangkan seperti apa lingkungan di luaryang tidak menjunjung nilai agama dan bernada kebebasan tentunya sangat mendukung untuk melakukan kejahatan seksual. Sehingga memang kita dapati orang yang tinggal di daerah ketat agama sangat anti dengan hal semacam ini.
Tidak hanya pelecehan seksual yang terjadi, bahkan tempat prostitusi pun agaknya tidak sulit untuk ditemukan di Cairo. Karena beberapa tempat wisata yang acap kali dikunjungi turis mancanegara sangat popular dengan suguhan hiburan erotis baik itu berupa tarian perut ataupun diskotik di perhotelan.
Walaupun semaraknya hiburan seksual di sini tidak seperti di Indonesia yang sudah merajalela hingga tingkat pelajar, tapi tetap saja ini mengotori kesucian sebagian besar rakyat Mesir yang sangat taat beragama. Karena lingkungan Mesir masih menjaga nilai dan norma agama dengan ketat. Hingga di tengah jalan masih dapat kita temui seorang polisi yang membaca Al-qur’an, seorang tukang sapu yang membaca al-ma’tsurat, bahkan ketika memasuki angkutan umum ucapan “assalamu’alaikum” bukan hal yang aneh di Mesir. Faktor kedua juga didukung oleh eksistensi para Ulama yang senantiasa mengayomi masyarakat, memberikan pencerahan, dan mendidik melalui beragam media informasi elektronik dan cetak, hingga tidak sulit untuk menemukan seorang yang biasa saja namun ia hafal isi Al-qur’an.
Filter agama memang cara paling ampuh untuk meminimalisir kriminal dalam tindak diri seseorang, hukum dalam masyarakat, atau kenegaraan. Karena efek jera dari pelbagai ancaman atas pelaku kejahatan dan tindak kriminal dalam Alqur’an itu lebih “mengena” ketimbang hukum konvensional yang masih mempertimbangkan batas kewajaran dan kemanusiaan (dalam versi mereka).
Kalo acuan masyarakat barat itu berupa akal, sementara acuan umat Islam itu adalah Al-qur’an dan Sunnah Nabi saw. Karena umat Islam percaya bahwa sebaik-baik hukum yang telah Allah ciptakan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dalam ideologi Islam, pelaku pelecehan seksual harus dita’zir (penjara), dan akan lebih keras ancaman hukumannya jika ia melakukan zina dan liwath. Itu kalau syari’at Islam benar-benar diterapkan.
Di luar ini masih banyak pelecehan seksual lain yang terjadidi lingkungan Kairo. Tak elak, kejahatan memang terdapat di mana saja. Baik itu Negara yang majority nya Muslim apalagi Non Muslim. Lingkungan memang menentukan karakter sesorang yang lahir di sana. Lingkungan lah yang akan membawanya pada kebaikan dan keburukan. Karena seperti Rasul saw katakan, apabila anda berteman dengan tukang minyak wangi, paling tidak anda kecipratan bau harumnya. Begitu pula bila anda berkawan dengan penjual nangka, maka paling tidak anda kena getahnya.