Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 40: Maut Mengintip di Lapangan Bubat

24 Desember 2011   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:48 624 0
PENDEKAR Padi Emas melangkah menyusuri jalan berbatu di Trowulan. Seperti biasa, ibukota Kerajaan Majapahit ini ramai oleh lalulalang penduduknya. Sebagai kota terbesar di Jawadwipa, tak mengherankan jika Trowulan menjadi daya tarik utama, bukan hanya masyarakat biasa, namun juga berbagai tipe pedagang yang datang dari berbagai daerah. Kios gerabah yang dituju letaknya tidak jauh, dan Pendekar Padi Emas merasa tidak perlu terburu-buru. Dia mencoba menikmati setiap denyut yang terasa di kota ini. Dia menarik nafas dalam-dalam, mencoba merasakan aroma sebuah kota. Selalu menyenangkan bisa berada di kota, pikirnya. Dia terus melangkah, menikmati dan meresapi pemandangan. Hingga dia merasa ada sesuatu yang salah. Dia memperlambat langkahnya, mengamati. Sepintas, semuanya terlihat normal. Tapi ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Namun apa? Pendekar Padi Emas menghentikan langkahnya, mendekati penjual sate ayam yang menjajakan dagangannya di tepi jalan. Dia menatap sekeliling. Mengamati dengan lebih seksama. Mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Dan samar, dia bisa merasakan ketegangan. Ketegangan yang terpancar dari sebagian besar masyarakat, baik yang lalu-lalang maupun yang berdiri di tepi jalan. Tapi ketegangan karena apa? Dia kembali mengamati, dan akhirnya tanpa sadar menepuk dahinya. Kini dia tahu kenapa sejak awal dia merasa ada yang tidak beres. Karena sebagian besar masyarakat yang lalu lalang adalah prajurit. Prajurit yang siap berperang!! Sebagai pendekar kelas atas, Padi Emas telah bertemu banyak tipe manusia. Dia juga dapat merasakan aura membunuh yang terpancar. Dan aura inilah yang dirasakannya tadi. Aura membunuh yang berasal dari prajurit yang menyamar. Tapi kenapa ada prajurit yang menyamar, di Trowulan pula? Apakah sebentar lagi Yang Mulia Baginda akan melalui jalan ini, dan para prajurit itu bertugas untuk mengamankan? Namun jika hanya untuk pengamanan, kenapa aura membunuhnya sangat besar? Pendekar Padi Emas kembali menatap sekeliling. Bahkan tukang sate yang berada di dekatnya adalah samaran!! Pedagang sate di dekatnya menjajakan sate yang sudah jadi. Tidak terlihat daging mentah dan tusuk sate. Juga tak ada perapian. Sambal kecap yang merupakan pasangan dari sate ayam juga tak tersedia. Si pedagang juga terlihat tak mempedulikan dagangannya. Tak sekalipun dia menyapa orang yang lalulalang agar mampir dan membeli. Perhatian si pedagang tertuju ke sebuah lokasi yang letaknya di sebelah kanan. Pendekar Padi Emas mengikuti arah pandangan si pedagang sate. Si tukang sate sedang mengamati Lapangan Bubat, lapangan terbesar di Trowulan. Ada apa, atau mungkin tepatnya, apa yang akan terjadi di Lapangan Bubat? Pendekar Padi Emas berjalan melewati si tukang sate palsu dan mendekati kios tuak yang cukup ramai. Pemilik kios adalah seorang kakek renta kurus kering. Seorang perempuan bertubuh montok nampak melayani pembeli. Perempuan ini cantik, dan rupanya hal itu yang menjadi daya tarik utama para pelanggan. Dia hanya mengenakan kain yang menutupi pinggang. Sekilas Padi Emas melirik dua bukit kembar yang membusung penuh milik perempuan itu. Bukit kembar itu bergerak perlahan setiap kali perempuan itu berjalan. “Tuak denmas?” kakek itu menyapa sopan. Senyumnya tulus. Gigi kakek yang tinggal beberapa itu hitam. Padi Emas mengangguk. Perempuan montok itu mendekati Padi Emas, dan dengan senyum agak genit menuangkan tuak ke sebuah gelas yang terbuat dari bambu berukir. “Silakan denmas, jika ingin tambah silakan memanggil saya,” kata si perempuan sambil melontarkan lirikan menggoda. Padi Emas kembali menganggukkan kepala. Ini bukan pertama kali dia dilirik oleh perempuan. Bukan sekedar lirikan, namun yang sifatnya mengajak. Padi Emas bukanlah pendekar yang anti perempuan. Tidak. Terkadang dia juga menikmati kehangatan tubuh perempuan. Lirikan perempuan ini, ditambah tubuhnya yang sintal sempat mengusik kelelakiannya. Namun Padi Emas menyingkirkan jauh-jauh perasaan itu. Dia ke Trowulan bukan untuk bersenang-senang. Ada hal lebih penting yang harus dikerjakan. Soal perempuan, itu bisa menunggu. Lagipula perempuan penjaja tuak ini pasti tak akan pergi jauh-jauh. “Rupanya akan ada keramaian sebentar lagi?” Padi Emas bertanya basa-basi. Kakek itu balik menatap Padi Emas. “Denmas pasti orang baru di Trowulan ya?” melihat Padi Emas mengangguk si kakek melanjutkan,” Denmas benar. Sebentar lagi akan ada keramaian. Rombongan Kerajaan Sunda Galuh sebentar lagi akan tiba. Rombongan Kerajaan Sunda Galuh mengantar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang akan diperistri Yang Mulia Baginda Raja...” “Ah, jadi pinangan Yang Mulia Baginda Raja diterima?” “Iya. Pihak Kerajaan Sunda Galuh menyambut baik pinangan itu,” sahut si kakek. “Tentu saja, pinangan ini sukar ditolak. Gadis mana yang mampu menolak pinangan Baginda Hayam Wuruk yang perkasa, tampan, dan merupakan penguasai kerajaan terbesar di Nusantara?” Padi Emas mengangguk. Beberapa purnama lalu dia pernah mendengar kabar tentang pinangan yang diajukan Baginda Hayam Wuruk, yang bermaksud memperistri dan menjadikan putri Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai permaisuri. Kabar tentang kecantikan putri Dyah Pitaloka telah tersebar ke berbagai penjuru negeri dan banyak yang menganggapnya sebagai pasangan yang sepadan untuk Baginda Penguasa Majapahit. Jadi, ini rupanya alasan kenapa banyak prajurit yang menyamar dan berdiri di sekitar Lapangan Bubat. Tapi kenapa aura membunuhnya sangat besar? Padi Emas kembali mengawasi sekeliling. Bukan hanya prajurit menyamar yang mengelilingi Lapangan Bubat. Namun juga barisan pendam yang terdiri atas beberapa kelompok. Di sebuah bukit di kejauhan terlihat beberapa orang yang menunggang kuda, dalam formasi menunggu. Padi Emas merogoh kantongnya, mengeluarkan sebuah tabung berwarna perak yang panjangnya sejengkal. Tabung ini pemberian seorang saudagar asal Persia. Padi Emas mendekatkan tabung itu ke mata kanannya. Jemarinya memutar kepala tabung. Sosok penunggang kuda di bukit itu kini terlihat jelas, seperti berada beberapa tombak di dekatnya. Tabung ajaib ini memang bisa memperbesar obyek di kejauhan. Dan tanpa sadar Padi Emas merinding. Dia mengenali kedelapan sosok yang duduk diam di atas kuda itu. Mereka adalah Bhayangkara Biru, dipimpin ketuanya Bhagawan Buriswara!! Kenapa Bhayangkara Biru juga ikut mengawasi Lapangan Bubat? Sejauh yang dia tahu, Bhayangkara Biru bertugas mengejar penjahat yang lolos dari jeratan hukum. Namun kenapa mereka ikut mengawasi Lapangan Bubat? Apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan Kerajaan Sunda Galuh? Padi Emas mereguk tuak dalam sekali tarikan nafas. Dia mengangsurkan gelas bambu yang kosong kepada si gadis. Masih dengan senyum manis gadis itu menuangkan tuak. Padi Emas merasakan aliran hawa yang panas di dada. Tuak ini walau manis namun cukup keras. Tubuhnya mulai terasa hangat. Dia kembali mengawasi. Padi Emas memutuskan akan berada di tempat ini hingga rombongan Kerajaan Galuh tiba.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun