Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 26: Sesuatu yang Lembut Menyentuh Bibir

6 Desember 2011   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46 505 0
MALAM itu malam biasa, sama seperti malam yang lain. Bunyi jangkrik bersahutan, ditingkahi nyanyian burung hantu. Di angkasa, bintang-gemintang samar disaput mega. Hanya malam biasa. Namun Dhanapati sama sekali tak menyangka kalau malam itu akan mengubah hidupnya. Selamanya. Awalnya, tak ada yang istimewa. Penugasan Bhagawan Buriswara untuk mencari keponakan Adipati Daha, Raden Purwadharma yang diculik juga bukan hal yang luar biasa. Mengejar penculik, bukanlah sesuatu yang memerlukan perhatian khusus. Karena itu, Bhagawan hanya menugaskan tiga anggota Bayangkara Biru untuk mengejar para penculik sekaligus menyelamatkan yang diculik. “Keponakan adipati yang diculik adalah gadis yang cantik. Jadi kalian harus berupaya menyelamatkan dia malam ini juga. Jika menunggu besok, bisa saja para penculik berubah pikiran dan memilih untuk menjadi pemerkosa,”  kata Bhagawan ketika memberikan arahan di Pesanggrahan Langit, markas sekaligus tempat tinggal Bhayangkara Biru. Seperti yang direncanakan, Dhanapati ditugaskan untuk menyelamatkan gadis yang diculik. Kedua rekannya, Bayu Segara dan Lembu Kapang menyamar sebagai prajurit yang akan membawa tebusan. Para penculik meminta 200 keping uang emas jika ingin gadis itu kembali utuh. Di bawah temaram bulan sabit, Dhanapati berkelebat. Pengalaman bertahun-tahun membuat matanya terlatih. Dalam keremangan dia bisa mengetahui mana batu dan semak yang bisa dijajaki. Menurut Adipati Purwadharma, para penculik meminta keping uang emas dibawa ke bukit Kranji, sekitar lima ribu tombak sebelah timur Gunung Arjuna. Artinya, gadis yang diculik pasti disembunyikan di suatu tempat di bukit Kranji. Dhanapati melompat ke puncak pohon Cempaka, dan mengamati sekitar. Ada tiga pondok di bukit itu. Dengan cepat Dhanapati melakukan pemeriksaan. Dua pondok yang pertama kosong. Pondok ketiga dihuni orang. Ada lima lelaki mengelilingi pondok itu. Semuanya menghunus senjata: parang, tombak dan keris. Siap tempur. Dhanapati mengambil batu dan melemparkan ke semak belukar. Ketika para penjaga tersentak, dengan kecepatan bagai kilat Dhanapati bergerak. Sekali libas, lima penjaga terkulai lumpuh. Dhanapati meloncat ke bubungan pondok. Atap yang terbuat dari jerami memudahkan dia mengamati. Ada tiga penjaga di dalam pondok. Semuanya memegang senjata yang terhunus. Sama seperti sebelumnya, Dhanapati bertindak dengan cepat. Ketiga penjaga dilumpuhkan. “Jangan takut, aku tidak bermaksud jahat. Aku datang untuk menyelamatkanmu,” kata Dhanapati sambil melepaskan ikatan gadis itu. Ketika sedang melepaskan ikatan, Dhanapati menyadari sesuatu. Tubuh gadis itu gemetar. Wajahnya pucat pasi. Ada butir air mata di matanya. Dan gadis itu cantik. Sangat cantik. “Terimakasih atas pertolongan tuan pendekar,” gadis itu berujar lirih. “Tak apa, tuan putri. Itu sudah menjadi tugasku...” “Ah tuan pendekar tak perlu memanggilku tuan putri. Cukup Sekar saja “Oh baiklah tuan... eh maksudku Sekar. Dan jangan panggil aku tuan pendekar. Namaku Dhanapati...” “Aku panggil kakang saja. Kakang lebih tua kan?” Ujar Sekar ambil tersenyum. Dan entah kenapa, Dhanapati tiba-tiba merasa dadanya sesak. Senyum gadis itu sungguh membuatnya seperti melayang. “Emm... Maaf Sekar, aku harus membopongmu. Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum kawanan penculik menyadari...” Sekar Wangi menundukkan kepala, sedikit tersipu, dan akhirnya mengangguk. Dalam keremangan malam, Dhanapati membopong Sekar Wangi, menghirup aroma tubuhnya yang harum, merasakan kulitnya yang lembut. “Kita aman sekarang,” kata Dhanapati begitu mereka tiba di kaki bukit. Di ufuk timur, terlihat semburat pertanda datangnya Sang Mentari. “Ta.. pi para penculik itu... Mereka hebat. Bagaimana jika mereka mengejar?” “Mereka tak akan mengejar. Bahkan bisa dipastikan, untuk selamanya mereka tak akan bisa menculik lagi...” “Ba... Bagaimana mungkin?” “Mungkin saja. Ada dua saudaraku yang bertugas membereskan. Jika dua anggota Bhayangkara Biru telah turun tangan, para penculik itu dipastikan tak akan bisa menghirup udara pagi...” Dhanapati mengantar Sekar Wangi ke kediamannya di Daha. Tak berapa lama, Bayu Segara dan Lembu Kapang menyusul, membawa kabar bahwa gerombolan yang dikenal sebagai Semut Rangrang telah dibasmi. Ketiga anggota Bhayangkara Biru dijamu keluarga besar Adipati  Purwadharma dengan penuh hormat. Sekar Wangi, secara khusus melayani Dhanapati. Sejak tiba di kediaman, Sekar Wangi tak pernah menjauh. “Aku baru sadar, aku bisa diculik karena tak bisa ilmu kanuragan. Sekar ingin belajar ilmu kanuragan. Kakang bisa membantu mengajarkan?” Sekar Wangi bertanya lembut. “Boleh. Nanti jika sewaktu-waktu ditugakan di sekitar sini, aku akan mampir… “Terima kasih kakang, Sekar senang sekali…” Dan sejak itu, di kala senggang, Dhanapati sengaja mampir ke Daha dan menemui Sekar Wangi. Resminya untuk mengajarkan ilmu kanuragan. Namun pertemuan  keduanya lebih banyak diisi dengan perbincangan. Setelah beberapa pertemuan, keduanya tak bisa berpura-pura. Ada sesuatu yang menyatukan mereka. Yang membuat hati berdebar ketika bersua, dan kegelisahan serta perasaan kosong ketika berpisah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun