............................................. “Terimakasih atas pertolongan tuan pendekar…” “Tak apa tuan putri, itu sudah menjadi tugasku…” “Ah, tuan pendekar tak perlu memanggilku tuan putri. Cukup Sekar saja…” “Oh Baiklah tuan… eh maksudku Sekar. Dan jangan panggil aku tuan pendekar. Namaku Dhanapati…” “Aku panggil kakang saja… Kakang lebih tua bukan?” ……………………………............... “Sekar ingin belajar ilmu kanuragan. Kakang bisa membantu mengajarkan?” “Boleh. Nanti jika sewaktu-waktu ditugaskan di sekitar sini, aku akan mampir…” “Terimakasih kakang. Sekar senang sekali…” ………………………………………..... “Sekar tak suka kalau kakang harus pergi secepat ini…” “Aku juga, Sekar. Tapi kakangmu ini harus pergi. Ada tugas Negara yang menunggu…” “Jangan lupa mampir lagi ya ‘kang?” “Pasti. Itu pasti….” ………………………………………..... “Sampai kapan kita seperti ini ‘kang? “Kakang juga tidak tahu Sekar. Bhegawan tidak melarang anggota Bhayangkara Biru menikah. Namun jika menikah, kami harus berpisah dengan keluarga. Bhegawan tidak ingin konsentrasi kami terganggu oleh kehadiran keluarga…..” “Tapi Sekar tidak ingin berpisah dengan kakang jika kita menikah nanti…” “Kakang juga tak ingin berpisah denganmu…” …………………………………………… “Kakang yakin akan melakukan ini?” “Tentu, Sekar. Semoga Bhegawan dan teman-teman akan mengerti. Aku meninggalkan Bhayangkara Biru demi mengejar cinta. Aku sudah bertahun-tahun mengejar penjahat. Kini saatnya aku mengejar cinta dan kebahagiaan…” ……………………………............... “Sekar bahagia, kakang. Bahagia sekali. Akhirnya kita bisa menjadi satu….” “Kakang juga bahagia. Untuk selamanya kita tak akan pernah berpisah…” ……………………………………........ “Hmmm…. Kulitmu halus. Dan tubuhmu harum, seharum namamu, Sekar Wangi…” “Aihhh….. Kakang nakal….” “Hmmmhhh…..” “Geli… kang….” “Hmmmmhhh….” “Kaaaang…. Tadi kan sudah….” “Aku ingin lagi….” “Ahhh… Kakang nakal…. Geli kang… Auw…….” ………………………………………..... “Anak kita laki-laki. Dia tampan sepertimu ‘kang…” “Dan matanya secantik ibunya…” “Kita namakan apa anak kita kang?” “Hmmm… Nantilah dipikirkan. Kita cari nama yang bagus untuknya….” ………………………………….......... “Kenapa kakang tidak menceritakan kalau teman kakang dari Bhayangkara Biru akan berkunjung?” “Berkunjung? Tidak. Aku malah tidak memberitahu di mana kita tinggal…” “Tapi bukankah itu Bhayangkara Biru? Bahkan Bhegawan juga datang. Aku siapkan masakan yang enak ya kakang? Kita sembelih saja si Jago?” “Eh, ada apa ribut-ribut itu? Ah Jagat Dewa Batara!!!!” “Apa yang… Kakang? Kenapa teman-temanmu mengamuk? Kenapa mereka…” “Celaka!!! Sekar, ambil si kecil!! Kita harus pergi!!!” “Kakang… Si kecil telah… Ahhh… Kakang… Tolong… Tolong Kakang… Kakaaaaaanggggggggg!!!!” “SEKAAAAAAAAAR!!!” Dhanapati terduduk. Nafasnya terengah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Ah, ternyata hanya mimpi. Ah mimpi itu. Sekar… Anakku!!! Dhanapati memejamkan mata, mencoba menghilangkan pemandangan yang menari-nari di pelupuk mata. Pemandangan istri dan bayinya yang berlumuran darah… Dia menarik nafas panjang berkali-kali. Setelah tenang, dia menatap sekeliling. Dia ternyata berada di sebuah bilik dari kayu. Aroma harum menggoda hidung. Di mana dia sekarang? Dhanapati memeriksa luka-lukanya. Masih terasa nyeri, namun tidak terlalu menyakitkan. Seseorang telah menolongnya. Bukan hanya menyelamatkan nyawanya namun juga menyembuhkan luka-lukanya. Tentu seseorang yang sangat hebat, pikirnya. Tidak banyak di Jawadwipa yang bisa menyembuhkan luka akibat serangan tujuh anggota Bhayangkara Biru. Bahkan di Nusantara sekalipun Dhanapati tidak yakin kalau ada yang bisa. Namun ternyata bisa. Dhanapati mencoba turun dari pembaringan. Dan dia merasa sekeliling seperti berputar…
KEMBALI KE ARTIKEL