Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Peta

14 Agustus 2012   14:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47 47 0
Peta siapa tergeletak di meja.
Di sana-sini banyak guratan tak jadi.
Garis-garis tipisnya menyengat pelipis.
Benarkah ini peta kaum sudra.
Benarkah ini peta kaum papa.

Tak biasanya peta tak menandakan apa-apa.
Toh, warna pelangi belum tuntas dirampas.
Masih menyapa siapa pun kala embun terbangun.
Bahkan sering dikawinkan oleh berbagai kepentingan.
Benarkah ini peta kaum kusam.
Benarkah ini peta kaum marjinal.

Peta siapa pun ini, seharusnya ia tergeletak bukan di meja.
Toh, masih banyak dinding kosong di negeri ini.
Di gedhek-gedhek berlubang jika dikira memalukan di beton Senayan.
Atau, dipajang di jalanan sebagai pesan dari Tuhan.
Benarkah ini peta penghuni nirwana.
Benarkah ini peta penghuni surga.

Jika satu-satunya tempat adalah meja, kenapa peta ini tak bisa dibaca di sana.
Mata silau menyentuhnya.
Mulut hanya berkerut.
Tangan enggan memegang.
Kaki tiada henti menginjak-injak hati.
Peta siapa pun ini, ia tak pantas dibuang meski merusak pandangan.
Peta siapa pun ini, ia tak layak dibakar meski menguras pikiran.

Peta siapa tergeletak di meja.
Dimana-mana, pangkal ujungnya mengarah ke kita.
Dimana-mana, garis-garisnya adalah bekas garis-garis peta kita.
Dimana-mana, bentuk dan rupanya adalah bagian tersembunyi dari peta kita.
Benarkah ini bagian peta bangsa.
Benarkah ini bagian peta dunia.

Semarang,
02:09/140812.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun