Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Airlangga Hartarto Ungkap Sumber Pertumbuhan Baru Itu Bernama Ekonomi Hijau

27 September 2023   10:34 Diperbarui: 27 September 2023   10:36 112 1
Indonesia memiliki kesempatan untuk menjalankan program ekonomi hijau secara lebih fokus dan terarah dalam berbagai program yang secara daya dukung ekonomi sangat mungkin dijalankan pada saat sekarang. Kondisi itu tidak lepas dari situasi ekonomi yang relatif stabil sepanjang dua tahun terakhir. Stabilitas dan kuatnya daya dukung ekonomi itu terlihat dari pertumbuhan rata-rata 5 persen yang secara beruntun dicapai dalam 7 kuartal secara berturut-turut, dimana  pada kuartal II-2023  angkanya tercatat sebesar 5,17%, ditambah dengan keberhasilan menjaga inflasi dalam rentang target yang ditetapkan yakni di angka 3,17% pada Agustus 2023.

Kesempatan untuk lebih memberi fokus kepada ekonomi hijau dan terbarukan sekaligus berkelanjuta itu juga menjadi salah satu pandangan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat berbicara dalam salah satu acara media di Jakarta. "Fundamental yang baik ini menjadi modal bagi Indonesia untuk mendorong ekonomi hijau sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan," kata Menko  Airlangga Hartarto.
 
Langkah ke arah itu sendiri sudah ditetapkan sejak beberapa tahun lalu, menyusul kesepakatan negara-negara sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Kyoto dimana negara penandatangan secara sukarela menerapkan aturan pengurangan emisi karbon di negara masing-masing. Seperti diketahui Protokol Kyoto, adalah sebuah traktat internasional tahun 1999 yang memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB untuk mengurangkan emisi gas rumah kaca. Ia berdasarkan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO pada atmosfer Bumi.  Persetujuan Paris, yang dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015, adalah penerus Protokol Kyoto karena ia telah melewati tanggal kedaluwarsanya pada tahun 2020.

Dalam realisasinya, Indonesia membuat komitmen sendiri dalam peningkatan upaya peningkatan target penurunan emisi sebagai bagian dari  prakarsa NDC (Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar  29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, atau turun ke angka  41% ke posisi  43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.  Upaya perluasan ini juga berdampingan dengan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 serta visi untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060.

Namun komitmen dan kesepakatan tersebut tidak akan bisa berjalan sesuai rencana tanpa ada kolaborasi erat antar pemangku kepentingan, utamanya dalam mengatasi salah satu barriernya yakni masalah pendanaan serta teknologi yang digunakan. Di sini, pemerintah telah berjalan dengan upaya memperkuat kerjasama dengan pihak swasta utamanya dalam hal  pembiayaan secara kreatif maupun pencarian bagi solusi yang ada antara lain dalam bentuk Sovereign Wealth Fund - INA, Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan SDG Indonesia One untuk meraih dan membuka proyek-proyek investasi, terutama di sektor energi, pertanian, transportasi, dan lingkungan hidup.

Adapun pendanaan dari  dana pemerintah melalui APBN diwujudkan dengan memberi prioritas pada proyek-proyek dengan konsentrasi pada perubahan iklim dan ramah lingkungan. Tak cuma dalam penyiapan, untuk eektiitasnya, diterapkan juga  Climate Budget Tagging di tingkat nasional dan daerah yang mampu melacak alokasi anggaran perubahan iklim, serta menyajikan data kegiatan dan hasilnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun