Dengan menjadi salah satu sumber devisa utama negara yang otomatis menjadi komoditas strategis, hal itu tak lain karena ada jutaan nyawa yang bergantung kepad industri ini. Data BPS mencatat bahwa di Indonesia, tidak kurang dari 12 juta pekerja menggantungkan rezekinya dari usaha ini, mulai dari petani pemilik lahan mandiri, pekerja pabrik pengolahan dan produk turunan sampai kepada pedagangan gorengan kaki lima di berbagai pasar tanah air.  Atas dasar itu pula, menjaga akses pasar ekspor agar tetap terbuka menjadi isu penting bagi pemerintah Indonesia. Karena  akan menjamin keberlangsungan roda dan putaran ekonomi dalam negeri dari sektor ini.
Disebabkan posisi strategis yang dimiliki, maka hambatan dan tekanan menjadi sesuatu yang sudah sering terjadi, utamanya dari negara-negara yang pada sisi lain adalah kompetitor untuk produk yang sama di negara yang menjadi tujuan ekspor. Hambatan tersebut mulai dari hambatan tarif, pengenaan ketetapan yang tak berkaitan langsung dengan produk itu sendiri, hingga kampanye negatif yang mengkambinghitamkan industri ini sebagai biang kerok terhadap persoalan lain yang tujuannya adalah agar produk ini ditinggalkan para konsumen.
Persoalan terkini dalam kaitan hambatan yang dialami industri sawit Indonesia dari pasar ekspor Eropa adalah keluarnya ketetapan European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada 16 Mei 2023, yang berdampak negatif serta bersifat diskriminatif karena membatasi pasar sejumlah komoditas utamanya sawit ke kawasan tersebut. "Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.