Menurut Pradopo (2002) mengatakan bahwa puisi merupakan karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Jadi penyusunan puisi selain mempunyai berisi pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, puisi juga disusun menggunakan bahasa yang khas maupun penempatan antar kata yang disusun sedemikian rupa dengan penyepadanan bunyi.
Sedangkan kajian puisi itu dapat diartikan sebagai hasil penelitian atau proses analisis puisi. Proses penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu untuk menghasilkan kajian yang objektif terhadap puisi yang dianalisis. Penelitian yang dilakukan memperhatikan unsur-unsur puisi, citraan puisi, dan objek analisis lain sesuai kebutuhan dan tujuan kajian puisi agar tercipta proses penjiwaan dan penghayatan serta terbentuk kepekaan dan kecintaan terhadap puisi sebagai karya sastra.
Menurut Wahyuni (2014: 12) menyatakan bahwa puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang diwujudkan dengan kata-kata indah dan bermakna dalam. Dibanding karya-karya sastra lain, puisi termasuk dalam kategori karya sastra paling tua. Pada dasarnya puisi adalah bentuk sastra yang menggunakan bahasa secara kreatif dan padat untuk menyampaikan ide, perasaan, atau pengalaman. Karena sifatnya yang subjektif, puisi sering kali dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara yang berbeda oleh pembaca yang berbeda pula. Proses memahami dan mengartikan makna yang terkandung dalam sebuah puisi disebut dengan penafsiran puisi.
Penafsiran puisi adalah bahwa hal tersebut melibatkan analisis teks puisi dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti struktur, gaya bahasa, tema, dan konteks historis atau budaya. Selain itu, penafsiran puisi juga melibatkan pengalaman dan pemahaman pribadi pembaca, sehingga bisa muncul beragam interpretasi yang sah.
Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengkaji puisi salah satunya dengan menggunakan kajian semiotik. Menurut City (2018) menganalisis menggunakan kajian semiotik menjadikan peneliti juga dapat mengetahui makna tersirat dari puisi objek analisis yang menjadi tanda dan penanda suatu karya sedangkan menurut Umam (2018:361-369) Semiotika pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia. Jadi Kajian semiotik digunakan untuk mengetahui suatu makna apa saja yang terkandung dalam puisi agar pesan penyair kepada pembaca atau pendengarnya dapat tersampaikan dengan baik. Fokus semiotik adalah mengkaji serta menganalisis kata yang berupa ikon, indeks, serta simbol yang ada di dalam puisi.
Salah satu puisi yang dapat dianalisis menggunakan kajian semiotik adalah puisi "Corongan Nyai Zainiyah Sukorejo" karya Raedu Basha. Dalam kajian sastra, pendekatan semiotika digunakan untuk menganalisis bagaimana tanda-tanda dalam teks sastra (seperti puisi, novel, atau drama) membentuk makna dan menyampaikan pesan kepada pembaca. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk menganalisis aspek budaya, sosial, atau politik yang terkait dengan produksi dan penerimaan tanda-tanda dalam komunikasi manusia.
Oleh karena puisi pasti mempunyai makna, maka dengan proses pengkajian puisi kita bisa tahulebih dalam makna-makna yang terkandung di dalamnya. Puisi merupakan karya sastra yang multitafsir. Artinya makna yang tergantung disampaikan belum tentu sama pada tiap pembaca.
Tulisan ini membahas analisis semiotika pada puisi "Penafsiran Tanda-Tanda Pada Puisi Corongan Nyai Zainiyah Sukorejo Karya Raedu Basha Dengan Pendekatan Semiotik" karya Raedu Basha. Fokus pembahasan tulisan ini ialah aspek tanda yang muncul pada keseluruhan puisi tersebut. Tanda-tanda yang muncul kemudian dianalisis berdasarkan konsep kajian semiotika yang dikemukakan oleh para ahli, yakni dengan mengambil aspek- aspek yang paling menonjol di antaranya. Selain itu, pembahasan semiotika pada puisi ini akan memperhatikan hubungan-hubungan di antara tanda-tanda yang muncul sehingga dapat menunjukkan sebuah titik temu yang merepresentasikan hal-hal lain yang berada di luar puisi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian analisis pada puisi Corongan Nyai Zainiyah Sukorejo tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Oleh karena itu, peneliti melakukan analisis makna menggunakan pendekatan semiotika untuk mengetahui makna puisi yang sebenarnya.
Ikon
Pada bait lima sampai dua belas memperlihatkan ada beberapa kata-kata yang mirip baik kata dan pemaknaannya tetapi ada juga yang tidak mirip baik kata dan pemaknaannya yang bertentangan, yang terdampar atau ditemukan.
Misalnya pada kata yang pemaknaannya saling mendukung pada bait puisi berikut:
Dari pusat suara panggilan wanita
dan pada bait selanjutnya:
pada dini hari istiqamah bersuara
pada masing-masing telinga hati yang terbuka
lalu tangisan demi tangisan lalu senyuman demi senyuman
Makna bait pertama: "Dari pusat suara panggilan wanita" Pada bait ini, ada sebuah suara atau panggilan yang berasal dari pusat atau sumber yang diidentifikasi sebagai suara wanita. Hal ini dapat mengisyaratkan kehadiran atau keberadaan wanita yang memiliki pesan atau makna penting yang ingin disampaikan melalui puisi ini.
Makna bait kedua: "Pada dini hari istiqamah bersuara pada masing-masing telinga hati yang terbuka" Bait ini menggambarkan bahwa pada waktu dini hari, suara yang disebutkan sebelumnya terus berkumandang atau bersuara dengan konsisten. Suara ini mengarah langsung ke telinga hati, yang mungkin melambangkan kerentanan, kepekaan, atau penerimaan pembaca terhadap pesan yang ingin disampaikan. Telinga hati yang terbuka menunjukkan bahwa pembaca siap menerima dan menghayati pesan atau pengalaman yang ingin disampaikan melalui puisi tersebut.
Begitupun kata yang mirip namun bermakna berlawanan dengan kata sebelumnya pada bait puisi seperti:
desa tidur seolah tak bangun dari uzur
Makna bait tersebut bahwa desa tersebut tidak terganggu oleh aktivitas yang biasanya terjadi di pagi hari.
Indeks
Pada bait tiga belas sampai bait lima belas ini, Raedu Basha mengajak pembaca untuk selalu kembali pada sang pencipta melalui ibadah, dalam puisi ini disebutkan bahwa warga kampung harus beribadah.
Yang dikatakan penulis ada bait tiga belas dan empat belas
Tahajud... tahajud... tahaju... Suara nyai tua tetap bergema
Pada masing-masing telinga hati yang terbuka
Makna bait tersebut bahwa Raedu Basha mengisahkan seorang Nyai yang tetap istiqamah membangunkan masyarakat sekitar untuk beribadah. Untuk bait selanjutnya:
pukul tiga sebelum fajar tiba
nyai tua setia membangunkan warga bangun... bangun... bangun...
tahajud... tahajud... tajahud....
Makna bait selanjutnya adalah sebuah sikap optimis dan konsisten dari Nyai Zainiyah untuk terus menggunakan corongnya dari rumah untuk mengingatkan pada kebenaran, mengingatkan warga, tetangga semuanya untuk beribadah kepada tuhan.
Berdasarkan pembahasan yang telah diselesaikan di atas, puisi "Corongan Nyai Zainiyah Sukorejo" karya Raedu Basha yang terbit pada Mei 2022 ini menunjukkan tanda yang merepresentasikan sesuatu yang berhubungan dengan agama dan rohani. Makna Puisi "Corongan Nyai Zainiyah Sukorejo" dapat dibaca sebagai sebuah interpretasi tentang realita yang ada dalam kehidupan yang digambarkan dengan kata-kata yang sederhana namun mampu mengguggah hati pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
City, I., Shalihah, N., & Primandika, R. B. (2018). Analisis Puisi Sapardi Djoko Damono "Cermin 1" dengan Pendekatan Semiotika. Parole: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(6)
Pradopo, Rahmat Djoko. (2010). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Umam, K. (2018). Sebuah Usaha Mencari Kasih Sayang: Kajian Semiotika dan Struktur Narasi Cerpen "Ketika Gerimis Jatuh" Karya Sapardi Djoko Damono. Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 13(3), 361-369.
Wahyuni, Risti. (2014). Puisi, Prosa, dan Pantun Lama. Jogjakarta: Saufa