Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mafia Minyak Ada di Situ (Copas-Majalah Gatra 23 November 2013)

15 Agustus 2013   01:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:18 900 0
Mafia Minyak Ada Disitu
MAJALAH GATRA :: 23 November 2012
Author : Raden Priyono Sebagian besar mantan pejabat BP Migas ditempatkan di lembaga yang bernama Satuan Kerja Sementara Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Hanya saja, nama Raden Priyono, mantan Kepala BP Migas, tak ada di lembaga itu karena telah pensiun sejak 7 September lalu.

Meski demikian, Priyono punya dugaan lain: ada pihak yang ingin menumbangkan mantan Kepala BP Migas ini."Mereka khawatir, jangan-jangan saya tambah kuat. Nah, ini semakin menakutkan. Kalau orangnya nggak bisa, pohonnya aja yang ditebas,"katanya. Hal itu diungkapkan Priyono ketika diwawancarai wartawan GatraTaufiqurrohman dan pewarta fotoArdyWidyansyah,Seninlalu.Petikannya:

Apa penilaian Anda terhadap putusan MK yang menyatakan BP Migas inkonstitusional dan tidak representatif mewakili negara dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945?

BP Migas perwakilan negara. Kami kan BHMN,kaitannya dengan UU Migas. Yang menjadi pertanyaan publik, antara putusai MK dan pernyataan Pak Mahfud serine berbeda. Dalam putusan MK itu tidak ada kata dibubarkan, hanya inkonstitusional.Tapi, kenapa lisannya dibubarkan. Dan tidak ada tenggat waktu seperti biasanya. Ada apa ini?

Jadi, Anda tidak sejalan dengan putusan MK?

Saya keberatan, BP Migas sebagai salah satu objek dalam UU Migas. Dalam proses di MK, Kepala BP Migas tidak pernah dipanggil sekali pun. Untuk kejahatan yang paling sederhana saja, dipanggil pada saat vonis. Mungkin dalam kacamata mereka, cukup pemerintah yang membikin BP Migas. Tapi yang mengerti masalah sehari-hari itu, catatan-catatannya, angka statistiknya, kan di BP Migas. Yang disebut tidak efisien itu seperti apa. Yang disebut liberal itu seperti apa.

Akhirnya, saya melihat ada konspirasi politik. Sebab yang maju juga bukan asosiasi profesi perminyakan, melainkan justruasosiasi tukang parkir,ormas-ormas Islam, yang sangat jauh konteksnya dengan dunia perminyakan.
Kalau kemudian dikatakan BBM naik karena BP Migas, itu tidak ada hubungan dengan tugas fungsi BP Migas.

Apakah ini karena BP Migas dianggap berpihak pada kepentingan asing?

Kalau itu, jelas-jelas Pertamina lebih condong ke luar negeri, karena ada minyak 900.000 barel per hari, dia tetap impor, hanya ambil 500.000 barel per hari. Lalu soal gas yang ke Singapura. Pak Dahlan harus belajar sejarah gas. Dulu ditawarkan oleh PGN, tapi di dalam negeri tidakadayang mau.

PGN dulu membangun pipa supaya domestikkebagian.Tapi PLN tidak ambil karena BBM yang disubsidi lebih murah. Akibatnya, pemerintah tidak membangun infrastruktur gas yang dibutuhkan untuk pendistribusian gas.

PLN sangat membutuhkan gas, mengapa gas produksi kita justru dijual ke luar negeri?

Kontrak pembelian gas pun harus 20-30 tahun karena harus membangun infrastruktur dulu. Keekonomiannya juga rentan perubahan harga. Karena PLN enggan, maka gas dijual ke luar. Nah, kontraknya tidak bisa diubah. Susah direnegosiasi. Sulit diubah di tengah jalan. Etika bisnisdi mana pun begitu.

Saat BP Migas berdiri dan saya masuk, infrastruktur gas itu tidak ada, selain pipa yang dibangun PGN.Tahun 2009, kalau tidak salah, Pak Hatta menelepon saya. "You gimana sih nggak perhatikan gas dalam negeri?" Kemudian saya jawab,"Oke, Pak, itu ada satu kapal LNG ke Jepang akan saya bawa ke sini. Gasnya masih punya kita karena belum sampai pelabuhan tujuan. Kini saya minta ketegasan Pak Hatta, kapal merapat di

mana untuk loading gas."Pak Hatta diam."Jadi, ini masalah infrastruktur,ya, Pri?"

Apa yang seharusnya dilakukan agar industri dalam negeri bisa memanfaatkan gas?

Mestinya dipikirkan sejak dulu. Thailand, 10 tahun lalu, mikirin ini. Gas itu tidak seperti minyak bisa dijual per spot. Butuh infrastruktur rapi. Kini Nusantara Regas janji akan beli 24 kargo, tinggal 12 atau 13 kargo. Jaringan pipa trans-Jawa belum siap. Baru sampai Jawa Barat. Jawa Timur baru Surabaya. Jadi, masalahnya bukan kami tidak mau memberi, melainkan tidak siap memberi karena infrastrukturnya tidak ada dan tidak direncanakan. Semua itu bukan wewenang BP Migas. Soal infrastruktur, ya, tanya ke ESDM.

Tapi, BP Migas dianggap gagal meningkatkan lifting minyak?

Lifting minyak rata-rata hanya 900.000 barel per hari. Katakanlah BP Migas menghasilkan 2 juta barel per hari, pasti tidak dipakai oleh domestik. Karena dengan 900.000 barel produksi kita, yang dipakai 500.000 barel. Selebihnya, Pertamina impor terus. Dan lebih nyaman impor daripada produksi. Kalau impor, kan cuma trading. Kalau perlu, digoreng-goreng sedikit lebih enakdi situ. Kalau produksi, berat, harus eksplorasi, harus investasi.

Diambil hanya 500.000 barel karena alasan teknisnya itu buat dicampur dengan minyak lain, karena spek kilangnya tidak sesuai dengan minyak domestik kita. Banyak lagilah alasannya. Kilang-kilang itu kan dioperasikan oleh Pertamina. Pertanyaannya, kenapa tidak pernah membangun kilang. Kenapa kilang-kilang selama 10 tahun terakhir ini nggak pernah kita bangun

lagi.Terlalu asyik impor. Itu di luar BP Migas. Itu manajemen hilirsemua.

Upaya apa yang pernah Anda lakukan untuk meningkatkan lifting minyak?

Sudah maksimal. Sudah masuk pada secondary recovery. Dulu masih primary yang dikuras habis itu, sudah gila-gilaan. Sehingga bukan pengelolaan, melainkan pengurasan. Sekarang tersiery sudah masuk. Sisa-sisalah yang diwariskan. Karena kita tidak menemukan cadangan yang besar lagi kecuali di Cepu. Selain itu kecil-kecil, 1.000 barel, 3.000 barel.

Nah, nanti ini tersiery. Caltex lagi yang berperan. Dulu secondary hanya Caltex. Sebenarnya yang lain juga bisa, tapi pertanyaannya, mau nggakl Padahal, PertaminalahannyajauhlebihbesardariCaltex. Tapi tidak ada keinginan untuk memproduksi. Bahkan keinginannya untuk memproduksi baru kelihatan setelah UU Migas.

Jadi, BP Migas dikorbankan?

Ya. Sebenarnya ini berujung pada usaha peningkatan produksi dalam negeridan impor crude BBM. Pertarungannya di situ. Jadi, jangan sampai produksi lifting kita itu naik. Ada bukti-buktinya. Tahun 2011, pipa Caltex bengkok sehingga gas tidak bisa masuk ke steam flat. Dampaknya, minyak nggak keluar, produksinya tidak maksimal lagi.

Anjungan pipa di Kodeco (JawaTimur) pada tahun yang sama ditabrak kapal. Jelas kapalnya kami tahu karena sempat kami cegat di Tanjung Perak, tapi tidak pernah ditangkap. Lalu fasilitas produksi kita di (kapal tanker) Gagasan Perak, juga Lentera Bangsa,terbakar. Ini terjadi berturut-turut dalam satu tahun. Apakah itu kebetulan? Yang terakhir, kasus penyelundupan minyak mentah kapal Martha Global, tapi nggak dilanjutkan. Semua orang juga tahu mafia minyak ada d isitu. Saya juga sudah sampaikan ke DPRdan BIN.

Saya ingat, waktu pertama kali menjadi Kepala BP Migas, ada laporan storage kita penuh semua. Minyak-minyak kita nggak diangkut. Kalau itu sampai penuh, produksi akan stop, gawat. Saya cek, ternyata nggak diangkut kapal.

Saya tanya ke Pertamina karena dia yang punya kontrak. Alasannya macam-macam. Lalu saya ancam, kalau satu minggu nggak diambil, akan putuskan kontrak dan ditenderkan secaraterbuka. Mendadak, jalan lagi pengangkutan itu. Nggakama kemudian, ada kasusZatapi. Saya nggak tahu kaitan kasus Zatapi dengan tidak diambilnya minyak-minyak itu. Selama ini, saya belum pernah ngomong soal ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun