Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menenggelamkan Diri (dari Kompasiana)

11 Maret 2010   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29 260 0
[caption id="attachment_91005" align="alignleft" width="300" caption="Tenggelam. (sumber: http://img.thesun.co.uk/multimedia/archive/00453)"][/caption]

Beberapa waktu lalu saya bercerita tentang dua orang penulis yang menenggelamkan diri Virginia Woolf dan Alfonsina Storni. Sepertinya indah dan romantis. Benarkah demikian? Virginia Woolf memberati mantelnya dengan batu-batu dan menenggelamkan diri ke sungai sedangkan Alfonsina menenggelamkan diri ke laut.

Indahnya tentang tenggelam juga digambarkan dengan sangat romantis dalam film Titanic yang dibintangi oleh Dicaprio sebagai Jack dan Kate Winslet sebagai Rose. Rose memegangi tangan Jack di antara pecahan kapal yang terapung. Jack merelakan sebalok kayu untuk kekasihnya dan dia sendiri rela membeku dalam lautan yang ber-es dan akhirnya mati tenggelam. Lebih romantis lagi karena diiringi suara indah Celine Dion yang ditimpali flute yang mendayu. Sangat romantic. Rose seolah bersumpah “My Heart Will Go On”, hatiku senantiasa hidup untuk mu kekasihku.

Benarkah mati tenggelam itu indah dan romantis? Sama sekali TIDAK. Saya punya dua pengalaman tenggelam. Yang pertama saya tak begitu ingat tetapi saya ingat benar sakitnya. Saya berumur 4 tahun dan belum sekolah. Saya terjatuh ke kolam ikan di sebelah rumah. Karena kepanikan yang luar biasa saya semakin tenggelam, air masuk hidung dan mulut … sangat menyakitkan. Pertama saya melihat air yang keputihan, lalu menjadi kekuningan. Hampir pingsan dan mulai gelap.

Rupanya saat saya belum tiba. Seorang tetangga melihat saya yang semakin meronta tetapi semakin tenggelam. Dia lalu menceburkan diri ke kolam, meraih tangan mungil saya dan menarik saya keluar dari kolam. Dia lalu memegangi kedua kaki saya dan membalikkan badan saya sehingga air keluar dari mulut dan hidung saya. Sangat menyakitkan. Saya berhutang nyawa padanya.

Pengalaman kedua ketika saya berumur 14 tahun. Bersama seorang teman kami menyusuri tepian sungai Progo. Sesudah berjalan jauh kami melewati sebuah tepian yang sempit di bawah tebing yang terjal. Lalu tak ada lagi jalan setapak jadi kami harus masuk sungai. Ternyata tempat itu dalam dan arusnya deras. Kami berdua terseret arus. Untungnya teman saya bisa menggapai akar-akaran di tepian dan dia berhasil menggapai tangan saya. Untuk kedua kalinya saya berhutang nyawa kepada seorang sahabat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun