Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Fenomena “The Vicky Things”

19 September 2013   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:41 356 1
Paulo Coelho pernah berujar, “Saya tak yakin, sekalipun penghuni satu jagat raya ini berbicara dengan bahasa yang sama, maka komunikasi akan baik-baik saja.”

Sekarang saya paham maksud dari Eyang Coelho ini. Dan Vicky Prasetya-lah yang telah membantu saya memahaminya.

“Vicky siapa, sih? Kenapa orang-orang ini latah ngomongin dia di timeline?” jidat saya berkerut penuh keriput. Jemari segera mencarinya di Syekh Google.

“Vicky Prasetya mantan tunangan Zaskia Gotik,” kata salah satu headline online.

Entahlah, siapa Zaskia Gotik. Tapi pria yang disebut-sebut sebagai mantan tunangannya itu telah berhasil merebut hati saya. Bukan, saya bukan kepincut, melainkan hati saya kecut. Ini terjadi setelah teman saya mengirim link video wawancara Vicky yang dilakukan oleh wartawan infotainment saat acara pertunangannya.

Sebelumnya saya gak begitu “ngeh” saat salah satu teman maya –Mas Bagus, menulis komentar dengan bahasa janggal di status saya. Saya kira itu hanya kelakarnya, rupanya komentar yang dia sematkan hasil copy-paste ungkapan Vicky yang jadi trending topic itu.

“Tepok jidat Osya!” komentar Mas Bagus, “Makanya yang gaul dong! Hahahaha,” tambahnya lagi di obrolan. Ya, harap dimaklumi, saya gak punya tivi :D

Begini kalimat-kalimat ajaib yang dilontarkan Vicky dalam wawancara itu:

“Di usiaku saat ini ya, twenty nine my age ya, tapi aku masih tetap merindukan apresiasi karena basicly aku senang music, walaupun kontroversi hati aku lebih menunjukkan kepada konspirasi kemakmuran. Kita belajar harmonisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita tidak boleh terlalu ego terhadap suatu kepentingan yang mengkudeta apa yang menjadi keinginan ya. Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga Kia, tapi menjadi confident. Tapi kita harus menyiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita lebih baik.”

Saya ternganga dengan mulut terbuka, hidung berdarah, dan mata merah :O

Twenty nine my age

Kontroversi hati

Konspirasi kemakmuran

Terlalu ego

Mengkudeta

Mempertakut

Statusisasi kemakmuran

Labil ekonomi

Setidaknya ada empat pelanggaran bahasa (menurut pakar linguistik UI) yang dilakukan Vicky dalam isi wawancara ini:

Pertama, menyalahi struktur sintaksis dan semantic bahasa Inggris; seperti kata-kata “Twenty nine my age”. Mungkin maksudnya “Twenty nine years old” kali ya :D

Kedua, ketidakpaduan sanding kata (kolokasi); seperti kata-kata “Kontroversi hati”, “Konspirasi kemakmuran”, “Terlalu ego”, “Statusisasi kemakmuran”.

Ketiga, kerancuan penggunaan imbuhan (afiksasi); seperti kata “Mempertakut”. Mungkin maksudnya “Menakut-nakuti” :D

Keempat, urutan kata atau frasa “DM” dan “MD” (Diterangkan Menerangkan – Menernagkan Diterangkan); seperti frasa “Labil ekonomi”. Kata “labil” adalah kata sifat, kata “ekonomi” adalah kata benda. Dalam struktur bahasa Indonesia, kata sifat berada setelah kata benda. Jadi seharusnya “ekonomi labil”.

Belum selesai dari kram perut karena ngakak sampai tamak, video lain saat pria ini menyampaikan pidato berkedok kampanye pencalonan Pilkades (?) pun tersaji. Dan kali ini lebih ajaib; berbahasa Inggris:

“My name is Hendrianto. I am froms the birthday in Karang Asih, Karang Asih City. I am have to my mind. I am get to the good everything . if wanna come to invest. . . .to my place. America, Europa, and everything Japanese and Asia. I am ready for the dewrrr (?) I wanna give to the fresh and glory to my. . . to my people. Its in Indonesia satu. Karang Asih yang maju, cerdas, dan berakidah.”

Oh My, what the heck?!

Bahkan Google Translator pun tak bisa menyamai keintelektualitasannya (?). Sekali lagi, benarlah kata Paulo Coelho, "Saya tak yakin, sekalipun penghuni satu jagat raya ini berbicara dengan bahasa yang sama, maka komunikasi akan baik-baik saja."

Sebenarnya tidak masalah Vicky ingin berbahasa mana pun, sekacau apa pun (terlepas dari benar tidaknya dia pernah S3 di Amerika ya :D), tapi akan sangat terdengar bermasalah dan menjadi bahan bullying khalayak jika dibarengi dengan gayanya yang terlihat sengak (atau gayanya memang sudah alami begitu?).

Entah Vicky yang keterlaluan atau khalayak saja yang terlalu membesar-besarkan. Tapi, fenomena “melakukan atau mengucapkan sesuatu tidak pada tempatnya” bukan hanya dilakukan Vicky saja saya kira. Kenyataannya, kita pun sering berbuat atau berucap tidak pada tempatnya, sembarangan. Iya gak, sih?!

Alih-alih ingin dianggap intelek malah jatuhnya norak :[

Barangkali, pesan moral dari fenomena ini adalah: sah-sah saja berbahasa “melangit”, tapi alangkah bijaknya jika dibarengi dengan hati yang “membumi”. Sebab seringkali hanya ada batas tipis di antara kedunguan dan kecerdasan. Dan batas tipis itu bernama:

NJELIMET!

Tapi tapi tapi, fenomena kosakatasime yang dijunjung tinggi oleh Aa Vicky ini begitu menggelegar ya. Tak apa, deh, sebagai panggung hiburan dari kestresan yang melanda jiwa. Sekalian menggeser statusisasi keeksisan bahasa alay.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun