“Para pejuang kebenaran adalah orang yang paling pintar memaknai arti cinta. Mereka orang yang paling romantis. Rindu dan cintanya amat kuat menggebu. Demi cinta dan rindunya kepada kebenaran, ia rela menempuh cobaan. Telapak tangannya selalu basah oleh keringat, bahkan darah. Tapi tak pernah mengeluh dan terus berjuang. Pikirannya senantiasa dipenuhi cita-cita mewujudkan tersampaikannya kebenaran. Meski untuk itu, ia berani untuk dicemooh, dihinan, bahkan rela mati. Sungguh hebat para pejuang kebenaran dalam mengaplikasikan cintanya. Begitu seharusnya cara mencintai. Mereka, adalah bunga-bunga dakwah yang harum semerbak,” papar Arya mengakhiri taushiyah-nya pagi itu di masjid sekolah.
Anak-anak rohis tertunduk. Menghela nafas dan saling berpandangan. Malah ada yang matanya mulai berkaca-kaca. Terharu. Ogi juga sangat terkesan dengan ungkapan Arya, kakak kelasnya yang juga ketua rohis di SMU Jingga itu. Meski dari gaya bahasanya nggak terlalu bombastis dan bernilai sastra, tapi isinya mampu melelehkan hatinya.
“Mil, kamu tahu kan gimana kondisi terakhir dakwah di sekolah kita?” Ogi menatap wajah Jamil dengan amat lekat. Jamil hanya mengangkat bahu. Tak berkata apa-apa seolah Ogi pasti tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sudah seminggu masalah dakwah di sekolahnya mulai menyita perhatiannya, tenaganya, dan juga waktunya. Anak-anak rohis SMU Jingga sedang menghadapi sebuah tantangan yang mungkin saja akan menggerus semangat mereka secara perlahan tapi pasti. Padahal, semangat itu mulai tumbuh. Semangat untuk mencintai kebenaran Islam.
Anak-anak rohis memang mulai dicurigai oleh pihak sekolah bahwa organisasi ini ditunggangi pihak lain. Beberapa orang guru mulai diterjunkan sebagai Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki kasus ini. Ada isu kalo anak-anak rohis mulai berani mengkritik kebijakan sekolah yang hendak menetapkan wajibnya siswa memberi sumbangan untuk perpisahan kelas tiga karena dikendalikan organisasi di luar sekolah. Mereka juga sering terlibat melakukan aksi di jalanan menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Semua itu dipelopori anak-anak rohis. Tapi sekolah tak yakin itu hasil kerja anak-anak rohis. Mereka masih percaya bahwa ada tangan kedua yang menggerakkan mereka.