Namun, kita tentunya tidak ingin larut dalam situasi saling salah menyalahkan, dan perdebatan mengenai perlu tidaknya OJK, rasanya juga sudah tidak relevan. Karena yang harusnya menjadi fokus perhatian kita selanjutnya adalah solusi konkrit yang membantu agar OJK mampu menjawab kekurangan yang ada pada model pengawasan lama. Dan sedikit yang perlu menjadi catatan kita bersama adalah ada sekitar 40% dari negara di dunia yang berhasil memisahkan fungsi pengawasan dari bank sentralnya. Namun, tidak sedikit pula yang gagal dalam pengaturan pemisahan itu, salah satu contohnya adalah Inggris. Rontoknya Northern Rock Bank menunjukkan adanya kelemahan dalam skema pembagian tugas dan kurangnya akses informasi antara Bank of England (BoE) danFinancial Sevices Authority (FSA) selaku pengawas perbankan independen.
Menilik catatan penting di atas, bahwa adanya kejelasan yang tegas dalam pembagian tugas dan koordinasi yang baik antara BI dan OJK kelak akan sangat diharapkan, demi mencegah terjadinya kesalahan serupa. Dengan terciptanya harmonisasi antara kedua lembaga maka kelemahan-kelemahan yang selama ini dipermasalahkan akan dapat di atasi. Terkhusus membahas kelemahan pengawasan perbankan, terpencarnya otoritas pengawasan di beberapa institusi sangat berpotensi membuka celah dan ketidakkonsistenan dalam pengawasan. Dari beberapa kasus yang terjadi, jelas menunjukkan kelihaian oknum pemilik dan pengelola bank memanfaatkan celah pengawasan yang ada. Yaitu antara perbankan oleh BI dan pasar modal oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK). Dengan modus memindahkan dana nasabah bank ke instrument reksadana yang sama sekali tidak terdaftar di BapepamLK dan penggunaan lembaga pembiayaan (leasing) atau BPR yang relative lebih longgar.
Di dalam UU OJK juga diamanatkan terkait sistem keuangan micro prudential dan macro prudential. Micro prudential merupakan penilaian atas tingkat kesehatan dari sebuah individu bank, yang dinilai berdasarkan CAMEL. Dalam hal ini, kondisi kesehatan individu bank menjadi tanggung jawab manajemen bank yang bersangkutan. Sementara macro prudential merupakan penilaian atas tingkat kesehatan dari sistem perbankan secara keseluruhan, yang dinilai berdasarkan dampak sistemik. Dan konsidi kesehatan makro perbankan menjadi tanggung jawab Bank Indonesia.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yang dibutuhkan adalah adanya rumusan secara clearmengenaikedudukan dan kewenangan antara pemerintah, BI dan OJK agar akuntabilitas masing-masing pihak menjadi jelas. Dan juga butuh itikad baik masing-masing lembaga dalam koordinasi dan berbagi informasi demi mencapai perbaikan kedepannya.