Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Bangsa Pemarah

14 Juni 2013   14:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:02 105 0
Orang kita ini sukanya marah-marah. Bahkan untuk minta tolong terkadang juga didahului marah-marah. Belum selesai satu marah, biasanya kita susul dengan marah selanjutnya. Setelah semua kemarahan usai, belum puas juga, akhirnya kita marah pada diri kita sendiri.

Output kemarahan ada beragam rupa. Lewat ungkapan, umpatan, cemoohan, hardikan, hingga sekedar tatapan, kita dapat mensinyalkan marah. Sebagian kita tidak lega jika belum sampai memukul, sebagian lain cukup mengatai sambil lalu, sebagian menggosip, dan sisanya menyimpan dendam. Nanti meledak kalau ruang penyimpanannya over capacity. Atau bagian terkecil ada yang memang tidak pernah meledakkan dendamnya menjadi marah. Tetapi kemudian memarah-marahi dirinya sendiri, termasuk kehidupannya, orang-orang dekatnya, istri, anak, pekerjaan, hingga memarahi kemarahannya.

Sayangnya, di setiap waktu marah kita jarang sekali melihat dan memperhitungkan siapa-siapakah yang bakal jadi korban sikap kita ini. Orang kita terlanjur menyukai kekacauan. Menyenangi situasi-situasi chaos yang menegangkan. Orang kita hobi menghentikan kendaraannya ketika melihat kecelakaan di jalan. Bukan demi kemanusiaan, menolong atau membereskan persoalan, tetapi nonton. Melihat-lihat siapa saja yang jadi korban, apakah ada sanak saudara atau teman kita, melihat seberapa parah tabrakannya, sehancur apa motornya, bagaimana raut wajahnya, dan lain sebagainya yang seperti-seperti itu.

Orang kita juga senang jadi bahan tontonan. Kadang-kadang. Tidak apa-apa sesekali membuat keonaran. Kekacauan. Marah-marah pada karyawan toko, menyuruh mereka memanggil bosnya atau manager-nya, untuk kemudian mengata-ngatai karyawan ini bersama-sama. Orang kita suka pamer kebinatangan. Suka mencelakakan orang lain dengan motif pendidikan kehidupan. Orang kita rumongso jadi orang sukses yang kemudian dapat seenaknya mengajari siapa saja kendati tidak seorang pun mau diajarinya. Orang kita baru jatuh satu kali di sawah sudah cerita banyak-banyak tentang metodologi penataan persawahan.

Dari kecil kita diajari untuk bersabar. Tidak memanjakan naluri marah kita yang selalu ingin semua orang mengikuti apa yang kita mau. Di rumah kita diajari itu. Di sekolah kita dibiasakan begitu. Meskipun sepatu tidak hitam atau rambut panjang tidak akan pernah mengganggu masuknya bab-bab pelajaran ke otak, tapi kita dipaksa mematuhi itu. Untuk memantapkan kepribadian kita bahwa kehidupan ini tidak akan melulu sesuai kemauan kita. Alur cerita dan berbagai-bagai skenario perjalanan hidup yang lain tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Terkadang kita mesti mengalah, mesti kalah, bahkan harus tersungkur dahulu.

Namun sembari usia bertambah, orang kita lupa. Insting hewaninya datang lagi, bahkan lebih bangsat dari masa kanak-kanak. Semua orang diharuskannya – dalam alam pikirannya – menuruti segala apa yang ia konsep. Ketika supir taksi salah jalan sedikit, otot lehernya hampir keluar karena teriak-teriak marah, memaki, merasa dirugikan. Bahkan orang kita tidak segan-segan nyemperi, mematikan usaha pemenuhan sandang-pangan orang lain demi memuaskan kemarahannya, demi terbalaskan dendamnya. Demi memberikan hukuman jera kepada orang lain yang padahal itu bukan haknya.

Kita semua pilu mendengarnya.

Marah adalah materi pemusnah kasih sayang nomor satu pada arena berkehidupan. Marah memberikan efek magis untuk bertindak nekat, menebalkan nyali, sekaligus merusak harkat kemanusiaan. Marah adalah sistem mutakhir dari perasaan manusia untuk melakukan pembunuhan dirinya sendiri. Marah adalah ujung keputus-asaan menghasilkan usaha mencari korban menuju hancur bersama-sama.

Semoga kita sama-sama dijauhkan dari perasaan marah, seperti apapun keadaannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun