Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Teknologi Informasi yang Mengubah Hidup

28 Juni 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 154 1
Saya memulai karir selepas wisuda sebagai seorang validator aplikasi untuk Telkomsel pada tahun 1996. Bekerja di sana niatnya sih hanya untuk mengisi waktu sambil mencari pekerjaan yang permanen, karena itu saya menjalaninya hanya beberapa minggu saja. Pada saat itu booming teknologi telekomunikasi sedang dimulai, tepat seperti yang diramalkan oleh Alvin Toffler sepuluh tahun sebelumnya.

Tapi saat itu fasilitas teknologi informasi masih cukup mahal sehingga tidak semua kalangan masyarakat bisa menikmati teknologi ini. Saya ingat, betapa saat itu orang rasanya naik derajat kalau dia sudah bisa menggenggam HP. Karena masih dianggap sebagai teknologi yang mahal, maka setiap orang yang ingin menjadi pelanggan Telkomsel, Indosat atau XL saat itu harus mendaftar dengan mengisi lembar aplikasi dulu. Di lembar aplikasi itu harus dicantumkan alamat sang pemohon, pekerjaan, penghasilan bulanan juga salinan dari rekening bulanan listrik atau telepon.

Nah, tugas saya sebagai validator aplikasi adalah memastikan satu persatu bahwa data yang tertulis di lembar aplikasi itu benar. Caranya ya dengan meneleponnya satu persatu, menanyakan apakah alamatnya benar, apakah benar penghasilannya seperti yang tertulis dan sebagainya. Kalau memang benar, saya akan membubuhkan stempel VALID untuk calon pelanggan itu bisa segera diproses. Banyak hal-hal lucu yang saya temui saat bekerja di bagian itu. Terkadang sang penerima telepon saya marah-marah karena tidak merasa mendaftar, terkadang dia marah karena ternyata yang mendaftar itu adalah anaknya yang sudah banyak membuat repot keluarga dan cerita-cerita ala sinetron yang lainnya.

Sekarang, tentu hal seperti di atas sudah tidak akan pernah dijumpai lagi. Sekarang semuanya jauh lebih mudah dan lebih murah. Era telekomunikasi informasi semakin mendekati puncaknya. Teknologi informasi sudah berkembang sedemikian rupa sampai susah dikejar lagi oleh penghasilan kita yang pas-pasan.

Handphone (HP) yang di awal masa kerja saya masih menjadi barang mewah, sekarang sudah seperti barang kebutuhan primer dengan range harga begitu lebarnya dari 200-an ribu ke puluhan juta rupiah. Bahkan di Balikpapan, HP yang dipunyai para pengemis ternyata jauh lebih bagus dari HP yang saya punyai he...he...Kadang saya berpikir orang ternyata lebih memilih untuk menahan lapar ketimbang harus menunda membeli pulsa.

Budaya orang-orang Indonesia juga sangat mendukung melesatnya angka penjualan HP dan alat-alat komunikasi lainnya. Sudah menjadi hal biasa, teman-teman kita berganti-ganti HP setiap bulannya seiring dengan timbul dan tenggelamnya produk-produk HP. Tidak heran produsen HP semacam Nokia lebih memilih Indonesia sebagai tempat peluncuran produknya ketimbang di negara lain. Semua HP dengan segala macam featurenya laris di negara sini termasuk HP yang 2 in 1, 3 in 1 dan segala macam variasinya.

Saya pikir dulu orang-orang asing juga termasuk penggila teknologi HP sehingga HP yang dimilikinya pasti mengikuti teknologi dan tipe yang terbaru. Tapi kesan itu berubah saat saya bekerja di perusahaan milik Jepang dan Perancis. Ternyata sebagian besar orang Jepang dan Perancis yang saya jumpai di sana lebih memilih HP model jadul ketimbang HP-HP tipe terkini yang penuh dengan segala macam feature. Saat saya tanya kenapa HP mereka begitu sederhana (maksudnya sama dengan HP saya he...he..) mereka menjawab bahwa yang penting adalah fungsinya. Kalau HP didesain semula untuk menelpon, kenapa mereka harus memilih HP yang bisa berfungsi sebagai radio, TV dan MP3 player ?

Tapi situasi di Perancis pun sudah banyak berubah sekarang. Waktu tahun ini saya bekerja di sana, ternyata mereka juga sudah sangat mengikuti laju teknologi. I-Pad, I-phone sudah menjadi barang sehari-hari mereka, terutama untuk anak-anak mudanya. Hanya orang-orang tua saja yang mungkin masih keukeuh menggunakan HP model jadul.

Tepat seperti ramalan Toffler, kemajuan telekomunikasi informasi juga mempengaruhi perubahan peradaban manusia. Saat ini, kalau saya berada dalam 1 ruangan dengan anak-anak buah saya, mulai jarang saya melihat ada pembicaraan yang menarik di antara mereka dan juga saya. Mereka lebih tertarik untuk mengeluarkan HP, BlackBerry, notebook atau PDA-nya lalu asyik dengan dunianya sendiri untuk berinternet, SMS, chatting, facebook atau sekedar mendengarkan musik ketimbang harus ngobrol satu sama lainnya. Dalam banyak kasus, sekarang orang lebih senang menyelesaikan masalah dengan sesamanya melalui SMS atau email daripada dengan elegan menemui langsung untuk berbicara. Terkadang masalah tidak terselesaikan malah menimbulkan kesalahpahaman yang baru.

Kalau dulu alat-alat komunikasi bukanlah barang primer, sekarang kita tampaknya mau mati saja kalau sedetik saja jauh dari HP atau notebook kita. Di jalanan saya banyak menemui orang tetap menggunakan HP saat mereka menyetir mobil, bahkan hebatnya pengemudi sepeda motor pun tetap menggunakan HP untuk menjawab telepon atau ber-sms walaupun sedang mengendarai motornya he..he...Uniknya saya sering menemui orang berbicara dan tertawa sendiri sekarang di sepeda motornya, setelah saya amati ternyata mereka sedang bercakap-cakap lewat HP yang mereka taruh di dalan helm-nya he..he..

Ah.....hidup kita memang sedang diubah oleh teknologi, termasuk negara miskin kayak kita ini.

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 28 Juni 2011)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun