Catatan Penulis: Bulan yang lalu saat kami berkunjung ke Gramedia Balikpapan, kami melihat ada tumpukan buku yang ternyata sedang diobral murah. Seperti biasa, insting saya selalu bergerak cepat setiap kali tahu ada obral buku murah he..he... Dan benar, ada sebuah buku yang lumyan bagus. Judulnya Asal-Usul Merek, diterjemahkan dari The Origin of Brands tulisan dari Al dan Laura Ries, konsultan pemasaran terkenal dari Atalanta, Amerika Serikat. Buku ini sangat menarik. Saya yang bukan berlatarbelakang ekonomi saja sangat menikmati buku ini. Saya jadi tahu bagaimana perjuangan dan pasang surutnya sebuah merek dibangun. Selesai membaca buku ini, saya mendapat insipirasi untuk mendokumentasikan merek-merek asli Indonesia yang selama ini sudah berkibar di tanah air. Tidak ada maksud tulisan ini sebagai media iklan sebagaimana yang dilarang di Kompasiana dan saya juga tidak mendapatkan imbalan apapun dari serial tulisan ini. Tulisan ini sekedar sebagai penanda bahwa di tengah gempuran produk-produk asing, kita sebenarnya memiliki produk dengan merek yang sudah lama dibangun. Semoga nasionalisme kita bangkit dengan memilih menggunakan produk dalam negeri. Salam. Percayakah Anda bahwa produk elektronika yang bermerek POLYTRON atau DIGITEC adalah produk made in Indonesia ? Tahun 1990-an dulu, Polytron meluncurkan produk televisi dengan merek Ninja dan Sumo. Juga produk audio dengan merek asing seperti Bassoke. Nah, Anda seharusnya bangga sekarang kala mengetahui bahwa merek-merek "asing" di atas sebenarnya 100% merek Indonesia. Merujuk pada tulisan Andi Suruji di koran Kompas (sayang saya tidak menemukan edisi kapan), Polytron adalah akronim dari kata Poly yang berarti banyak dan kata Tron yang adalah singkatan dari kata elektronika. Berarti Polytron adalah kumpulan banyak barang elektronika. Secara harafiah tepat karena produk Polytron memang bervariasi dari televisi, audio system, kulkas dan AC. Pertanyaannya adalah kenapa sebagai merek asli Indonesia harus memakai kata berbau asing seperti Polytron atau Digitec ini ? J. Arief Hartono, Dirut PT Hartono Istana Teknologi menjawab bahwa itulah strategi bisnis untuk menghadapi karakter masyarakat yang tergila-gila dengan produk luar negeri. Apalagi sudah ada persepsi di benak orang Indonesia bahwa produk elektronika pastilah identik dengan barang-barang dari Jepang. Saya aja dulu juga mengira kalau Polytron ini barang impor dari Jepang he..he... Saya membuka-buka kliping saya yang berasal dari tulisan Sonni (MarkPlus Professional Service) di koran Surya tahun 1996 dengan judul Mempersepsi Produk. Penulis mengangkat Polytron sebagai contoh bagus dalam hal mempersepsi produk. Target market Polytron adalah masyarakat yang menganggap bahwa barang elektronika haruslah buatan Jepang. Karena itulah maka brand name Polytron dan Digitec dipilih dengan diiringi oleh klaim produknya sebagai teknologi Jepang dan mengeluarkan produk dengan nama ke-Jepang-Jepang-an seperti Ninja atau Sumo. Menurut penulisnya, inilah kunci sukses Polytron menguasai pasar elektronika Indonesia yaitu dengan memperhatikan dahulu apa yang ada di benak prospek. Sejarah Polytron dimulai pada tanggal 16 Mei 1975, saat pemilik pabrik rokok PT Djarum Kudus mendirikan perusahaan dengan nama PT Indonesia Electronic dan Engineering dengan penyertaan modal sebesar Rp. 50 juta untuk memproduksi barang elektronika. Sebagai industri rokok yang berekspansi ke industri elektronika, sejak awal pemilik perusahaan tidak mau melibatkan pihak maupun modal asing. Sejak berdiri perusahaan ini tidak memiliki prinsipal sehingga tidak harus membayar royalti pada setiap produk yang dihasilkan. Tahun 1977, perusahaan merekrut 14 perempuan lulusan SMEA dan SMA untuk dilatih menyolder dalam usaha merakit komponen menjadi rangkain produk elektronika. Didatangkanlah komponen-komponen elektronika dari Singapura sebagai bahan training 14 karyawan tersebut. Setelah cukup belajarnya, pada tahun 1977 pabrik di Kudus ini mulai mendatangkan komponen dari Belgia untuk memulai proses alih teknologi dari Philips-MBLE Belgia. Diluncurkanlah produk televisi pertama mereka dengan merek Polytron. Tapi televisi pertama mereka ini gagal di pasaran karena ukuran televisinya yang besar dan masih memerlukan kotak speaker sehingga tidak menarik pembeli yang ingin produk yang praktis. Di sinilah pabrik ini mengalami kegagalan dalam pemasaran. Produk mereka ditolak oleh toko-toko elektronika bahkan sang dirut pernah diusir oleh toko kala menawarkan Polytron ini. Tapi menyadari bahwa mereka adalah pabrik rokok yang ingin menguasai industri elektronika, makanya mereka bersedia menjalani masa-masa sulit itu sebagai kesempatan untuk belajar. Dari teknologi Eropa mereka beralih ke teknologi Hongkong. Dari komponen-komponen yang diimpor dari Hongkong mereka meluncurkan televisi hitam putih 20 inchi. Saat itu pula mereka membuka lembaga riset dan pengembangan sendiri sehingga sejak itu mereka menjadi pabrik elektronika dengan desain produk yang diciptakan sendiri. Alih teknologi televisi juga didapat dari kerjasama mereka dengan perusahaan televisi Salora dari Finlandia (kelak bernama Nokia). Nama perusahaan kemudian berubah dari PT Indonesia Electronic dan Engineering menjadi PT Hartono Istana Electronics, lalu di tahun 2000 berubah lagi menjadi PT Hartono Istana Teknologi. Seiring dengan perubahan namanya, perusahaan ini sudah berhasil mengembangkan teknologi televisi berwarna hemat energi (40 Watt) dengan ukuran 17, 20 dan 26 Inchi. Bahkan mereka mampu menghasilkan televisi dengan daya 20 watt saja, yang diklaim sebagai yang pertama di dunia. Terus terang saya kagum dengan perusahaan ini. Inovasi dan kreativitas para insinyurnya sangat kentara dalam menghasilkan produk yang cerdas dan menarik. Produk yang sebenarnya cukup menarik (tapi sayang sepertinya tidak terlalu diterima pasar) adalah kala meluncurkan produk kulkas yang bisa berfungsi sebagai pendingin tapi juga ada bagian yang bisa berfungsi sebagai pemanas makanan. Dengan cerdas mereka memanfaatkan energi panas yang terbuang kala proses pendinginan untuk dimanfaatkan sebagai pemanas makanan. Secara kreatif mereka juga pernah meluncurkan produk televisi yang dilengkapi dengan VCD player di dalamnya. Dan sekarang mereka juga meluncurkan produk televisi LCD yang dilengkapi dengan koneksi USB. Kreatif bukan ? Saat saya masih kuliah untuk belajar Akustik dan Fisika Bangunan, produk audio Bassoke saat itu sering dijadikan sebagai contoh produk yang dengan cerdas memanfaatkan kecenderungan orang-orang pedesaan yang telinganya senang terhadap nada Bass ketimbang Treble. Dan karena itulah produk audio Polytron laris manis karena lebih suka menonjolkan bunyi bass-nya. Dari sisi marketing, Polytron sering dijadikan contoh produk yang awalnya sukses dipersepsi pasar sebagai produk murah tapi berkualitas Jepang dan sekarang mulai bermetamorfosis sebagai produk yang juga diterima oleh kalangan atas baik dari produk televisi maupun audio systemnya. Yang mengherankan, produk audio Polytron ternyata berhasil mengalahkan produk-produk papan atas dari Jepang dan Eropa yang selama ini mendominasi pasar. Berdasarkan survei Frontier Consulting Group di akhir tahun 2006, Polytron menempati posisi teratas dalam hal kepuasan pelanggan, di atas merek Sony, JVC, Aiwa, Panasonic, Sharp, Philips dan Sanyo. Dari persepsi pelanggan, Polytron dianggap lebih unggul dalam hal kualitas, harga maupun pelayanan konsumen. Pada tahun 2006, Polytron menjadi The best seller 2005 for Audio Home System and Audio Recorder dari GFK Certified Indonesia. Pada tahun itu pula Polytron menyabet Indonesia Customer Satisfaction Award for Radio Cassette Category versi SWA MARS. Tahun 2007, Polytron menyabet Top Brand Award dari Frontier Consulting Group dan Majalah Marketing. Polytron juga meraih The Best Inovation in Marketing Award dari majalah Marketing. Prestasi yang sama juga diraih pada tahun 2008 dan 2009. Sekarang, Polytron juga mulai mengekspor produknya walau harus merubah bendera supaya diterima pasar lokal Eropa. Kata sang Dirut di tulisan Andi Suruji di koran Kompas, pasar Jerman hanya mau menerima produk Polytron kalau bajunya diganti dulu walaupun barangnya sebenarnya 100% complete built-up dari pabrik Polytron di Kudus. Jadi kalau ada Sobat Pembaca di Eropa, terutama di Jerman, yang melihat ada produk elektronika bermerek Cancer atau Condor, Anda seharusnya bangga dan tersenyum karena itu adalah produk elektronika Indonesia yang pabriknya ada di Kudus. Sumber logo dan tulisan:
1.http://www.lintasberita.com/Nasional/Berita-Lokal/buat-yang-belum-tahu-polytron-ternyata-produk-indonesia-asli
2.http://www.handiirawan.com/articles/archives/2007/04/24/pelajaran_dari_polytron/
3.http://bataviase.co.id/detailberita-10397715.html
4.www.menteridesainindonesia.blogspot.com
KEMBALI KE ARTIKEL