Sebagai orang Jawa tulen, bertani atau berkebun adalah hobi warisan genetik saya di luar pekerjaan sehari-hari di bidang teknik. Tapi ketika bekerja dan tinggal di Balikpapan, berkebun memiliki tantangannya sendiri. Kalau di Jawa banyak terdapat gunung berapi yang membuat tanah Jawa begitu subur sehingga ibarat tinggal menancapkan tongkat saja besoknya sudah tumbuh pohon baru (kata Koes Plus), di Kalimantan banyak gunung batubara. Akibatnya tanah di Kalimantan tidak terlalu subur. Seringkali tanaman menjadi kering sendiri karena sang akar tersengat panas yang tersimpan dalam tanah, Karena itulah untuk menyalurkan hobi berkebun semua warga Balikpapan lebih suka menanam dalam pot atau polibag.
Lain halnya kalau Anda pergi ke pelosok Kalimantan. Di sana Anda akan menemui tanah berawa becek yang kita sebut sebagai tanah gambut. Di beberapa daerah ada lahan gambut yang di lapisan bawahnya terdapat pasir kuarsa. Di daerah yang lain ada lahan gambut yang di bawahnya terdapat kandungan racun dan logam tinggi seperti pirit, aluminium, besi dan mangan. Karena itulah saya angkat topi terhadap keuletan para transmigran dari Jawa yang dengan tekun dan sabar mau menjadi petani di Kalimantan sini, padahal tanaman musiman tidak akan bertahan karena unsur haranya yang sangat kurang.
Di penghujung masa pemerintahan Soeharto terdapat Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar. Saat itu ada solusi instan dari pemerintah. 1 ton kapur di tebar di atas setiap 1 hektar lahan gambut. Tapi kalau Sungai Kapuas meluap, tanah kembali menjadi asam karena kapurnya sudah tercuci kembali. Solusi lain untuk membangun sistem drainase, ternyata membuat Pirit masuk ke sungai dan membunuh ikan-ikan di sungai.
Saya menggunakan pupuk organik dalam berkebun menggunakan pot atau polibag. Karena itu saya sungguh bangga saat membaca artikel tulisan Asni Harismi di Media Indonesia edisi Kamis, 4 Februari 2010 mengenai sosok berprestasi bernama Ali Zum Mashar. Rasa kagum, bangga dan penasaran terhadap sosok Pak Ali semakin menjadi bukti yang kesekian bahwa faktanya adalah pemerintah yang selalu terlambat dan bermasalah, sementara rakyatnya banyak pintar, cerdas dan kreatif mencari solusi.
Di artikel tersebut ditulis bahwa pada tahun 1996, Ali pergi ke Palangkaraya sambil membawa strain mikroba temuannya saat kuliah. Dia mencobakan mikroba tersebut ke dalam pot tanah gambut bercampur pasir kuarsa dengan tanaman tomat. Dan cara ini berhasil.
Saat menjadi sarjana yang tergabung dengan proyek gambut sejuta hektar, dia menemukan bahwa di salah satu lahan gambut di Barito ada tanaman kacang-kacangan dan tanaman berdaun lebar yang tumbuh subur, padahal itu bukan tanaman asli lahan gambut. Langsung saja di ambil tanah di sekitar lokasi itu. Di laboratorium, strain mikroba yang berada di sampel tanah tersebut dibiakkan lalu dicobakan ke petani binaannya. Teorinya berhasil dengan berhasilnya pertanian kedelai, jagung, cabai dan padi di lahan gambut Kalimantan. Bahkan panen padi bisa sampai 6 ton per hektarnya.
Karuan saja, Ali mengambil langkah lanjutan untuk membuat usaha sendiri dengan nama PT Alam Lestari Maju Indonesia yang salah satu produknya adalahpupuk hayati BioP2000Z, pupuk berbahan baku ragam mikroba. Pupuk tersebut diklaim sudah menjadi solusi bagi para petani lahan gambut. Pupuk tersebut bahkan sudah dipatenkan secara internasional di Swiss dan 121 negara lainnya. Tahun 2009, Ali mendapatkan penghargaan Hak Kekayaan Intelektual Luar Biasa. Ali juga diminta menjadi staf ahli Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja.
Ini yang penting. Awal tahun 2009, datanglah Prof. Nabil Y. Kurashi sebagai utusan Arab Saudi untuk meminta Ali membantu Arab Saudi menghijaukan gurun pasir di sana bersama mikrobanya. Sebagai awal, Ali diberikan lahan 300 ha di Dubai dan 30 ha di Jeddah untuk proyek ini. Untuk itu Ali menyiapkan 1 tim ahli pertanian dan kultur jaringan. Mikroba unggulan disiapkan untuk bekerja menjadikan gurun pasir menjadi tanah pertanian. Pak Ali berkata bahawa bagi pemerintah, pengiriman TKI ke Arab Saudi adalah sumber devisa, padahal bagi TKI itu sumber penderitaan. Tapi toh tetap dilakukan pemerintah juga. Sekarang Pak Ali memilih untuk mengirim tenaga ahli plus mikroba untuk ke Arab Saudi, itu jauh lebih terhormat ketimbang yang dilakukan pemerintah.
Saya tidak tahu, apakah pemerintah sudah benar-benar memanfaatkan otak Indonesia bernama Ali Zum Mashar ini untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya. Saya sendiri tengah mencari pupuk mikroba ini untuk mencobanya di tanah saya.
Apakah hanya negara lain yang menghormati otak Indonesia ? Pak Ali berkata,”Mudah-mudahan implementasi teknologi penyuburan lahan di Indonesia tidak kalah cepat dengan usaha saya di Arab Saudi”.
Referensi:
Artikel “Pekerjakan Mikroba ke Arab Saudi”, oleh Asni Harismi, Media Indonesia edisi Kamis, 4 Februari 2010.
Sumber foto:
1. Dokumen pribadi
2. http://gerakpemuda.wordpress.com/2009/11/06/ali-zum-mashar-temukan-pupuk-ala-google/
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 6 Maret 2010)