Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Mengunjungi Kuburan Kuno Leluhur Minahasa

6 Februari 2010   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 722 0

Berikut ini adalah seri kedua dari tulisan saya mengenai berwisata di Sulawesi Utara setelah pada tulisan pertama saya menulis tentang pasar Tomohon.

( lihat http://wisata.kompasiana.com/2010/01/17/merasakan-suasana-horor-di-pasar-tomohon/)

Setelah puas menikmati suasana horor di Pasar Tomohon dan membeli beberapa ikan Roa, kami diantar oleh Pak Onong untuk mengunjungi Waruga, komplek kuburan kuno Minahasa. Menempuh perjalanan dengan mobil sekitar 1,5 jam ke arah timur akhirnya kami sampai di komplek Waruga yang berada di kampung Sawangan, Air Madidi.

Terus terang, kami ke sana dituntun oleh ingatan kuat pengetahuan umum semasa SD dulu bahwa di Air Madidi Sulawesi Utara terdapat sebuah warisan megalit yang bernama Waruga. Setelah 30 tahun berlalu, akhirnya sampailah saya ke tempat yang selama ini cuma ada di memori otak saya. Itulah hidup.

Melalui penjelasan dari penjaga kompleknya yang sangat ramah dengan Bahasa Indonesianya yang mengagumkan kami belajar bahwa Waruga adalah istilah lokal peninggalan megalit yang berbentuk atau berfungsi sebagai peti kubur batu. Biasanya waruga adalah wadah kubur batu bagi orang yang meninggal dalam satu keluarga. Terbuat dari batu utuh (monolith), waruga terdiri dari bagian badan dan bagian tutup. Pada umumnya bagian badan berbentuk kotak persegi empat dengan lubang di dalamnya. Sedangkan bagian tutupnya berbentuk menyerupai atap rumah.

Waruga juga perlambang status. Semakin rendah status sosial keluarga yang meninggal, semakin poloslah waruganya. Sebaliknya semakin tinggi status sosial keluarganya maka semakin banyaklah ukiran-ukirannya. Biasanya ukirannya berbentuk motif manusia, motif sulur-suluran, motif kotak-kotak atau binatang. Melalui ukiran di badan atau tutup waruga biasanya kita bisa mengetahui apa pekerjaan orang yang dikuburkan tersebut, atau apa penyebab kematiannya. Pak penjaga menunjukkan kepada kami sebuah waruga yang berukir wanita bersama anaknya, perlambang kemungkinan besar ibu tersebut meninggal saat melahirkan anaknya.

Di dalam sebuah waruga biasanya juga akan ditemui benda-benda kesayangan almarhum, ada gelas, piring, gelang, keramik, manik-manik dan sebagainya. Nah, di sebelah luar dari komplek ini terdapat rumah panggung adat Minahasa yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan dan memperlihatkan benda-benda yang ditemukan berada dalam sebuah waruga. Ngomong-ngomong tentang gelang, kami sangat takjub melihatnya. Karena gelang-gelang peninggalan tersebut berukuran sangat besar. Kami membayangkan apakah leluhur orang Minahasa itu berbadan besar seperti raksasa mengingat gelang yang dipakai di tangannya saja besarnya seperti itu. Mungkin saja pendapat kami tersebut benar, apalagi kalau melihat beratnya sebuah waruga, siapa yang akan mampu mengangkatnya kalau bukan orang yang memiliki fisik besar dan kuat ?!

Yang membuat kami tersenyum adalah adanya botol wiski sebagai salah satu benda ikutan di dalam waruga. Itu perlambang bahwa almarhum kalau bukan penggila wiski berarti meninggal karena wiski he..he...Lho, kalau waruga ini warisan kuno kenapa ada botol wiski di dalamnya ?

Usut punya usut, sekali lagi kata pak penjaga, ternyata kebiasaan membuat waruga tetap dipertahankan oleh orang Minahasa secara turun temurun bahkan sampai jaman penjajahan Belanda. Itulah yang menjelaskan kenapa ada botol wiski di dalam waruga. Bahkan dulu sebenarnya waruga tidak hanya dikumpulkan di satu komplek, tapi juga disimpan di depan rumah masing-masing warga. Nah, suatu kali karena proses pemasangan tutup yang tidak sempurna, terjadilah wabah kolera di daerah Minahasa ini. Banyak korban yang jatuh karena wabah tersebut. Karena itu pulalah akhirnya Belanda melarang tradisi waruga dilanjutkan, bahkan meminta semua waruga dikumpulkan dalam 1 komplek waruga seperti yang saat ini bisa kami kunjungi.

Itulah reportase kami mengenai kunjungan ke Waruga Minahasa. Jangan salah lho, sudah banyak tokoh-tokoh dunia yang mengunjungi komplek ini. Contohnya Ratu Beatrix dan beberapa pembesar negara luar, dapat dilihat dengan tanda tangan dan fotonya saat berkunjung ke sini yang dipanjang di dalam museum. Makanya, mumpung masih hidup, kalau ada kesempatan dan sedikit uang kunjungilah penjuru Indonesia ini.

Selanjutnya karena waktu makan siang sudah tiba, kami pun bersiap untuk makan ikan bakar di dalam perjalanan terakhir kami pada hari Sabtu itu, yaitu mencari Tarsius di Taman Nasional Tangkoko. Tunggu tulisan berikutnya ya.

(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 6 Februari 2010)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun