Pada mulanya adalah elektrolisis. Sir William Grove menemukan bahwa air dapat dipisahkan menjadi hidrogen dan oksigen dengan memberikan arus listrik. Saya menggunakan teknologi ini ketika bekerja di sebuah pabrik petrokimia untuk memisahkan air garam (NaCl) menjadi Caustic Soda (NaOH) dengan produk sampingan Clorine (Cl2), Hidrogen (H2) dan Natrium Hypochloride (NaClO). Saya pernah menuliskan tentang elektrolisa ini dalam postingan di sini
Nah, Sir William Grove kemudian menyusun hipotesis bahwa jika proses elektrolisis tersebut dibalik (disediakan hidrogen dan oksigen dalam sebuah sel seperti aki) maka akan dihasilkanlah energi listrik. Grove menyebut temuannya ini sebagai baterai gas volatik. 50 tahun kemudian Ludwig Mond dan Charles Langer benar-benar mengembangkan kebalikan elektrolisis ini, mereka menyebutnya sebagai sel energi atau fuel cell.
Di dalam fuel cell tersusunlah atas anode, katode dan elektrolit di antaranya. Hidrogen dimasukkan ke dalam sel berfungsi sebagai anode sementara oksigen dari udara dimasukkan ke sel untuk berfungsi sebagai katode. Bila di kebanyakan aki kita menggunakan cairan aki sebagai elektrolit, di fuel cell yang berfungsi sebagai elektrolit adalah membran polimer yang sering disebut sebagai PEMFC (Proton Exchange Membran Fuel Cell).
Dari struktur fuel cell ada 2 masalah yang harus dipecahkan. Kebutuhan akan oksigen tidak terlalu masalah, bisa diambil dari udara. Tapi bagaimana dengan hidrogen ? Lalu mengenai membran elektrolit, performa paling bagus saat ini adalah Nafion dari DuPont USA, tapi harganya itu lho, Rp. 10 juta per meternya.
Lalu bagaimana solusinya ? Untungnya kita punya otak-otak Indonesia yang cerdas dan kreatif. Adalah Eniya Listiani Dewi, ilmuwan BPPT yang berhasil membuat membran alternatif yang murah tanpa harus menurunkan performa elektrolitnya. Ada bahan polimer yang biasanya dipakai sebagai bungkus remote control atau laptop, namanya adalah acrylonitrile-butadiene-styrene diproduksi oleh sebuah pabrik petrokimia di Cilegon Banten (tapi bukan pabrik tempat saya bekerja dulu). Harganya jauh lebih murah, yaitu Rp. 2.000 per meter persegi setelah diolah menjadi membran plastik transparan. Membran tersebut diolah untuk berukuran 10x10 cm dengan ketebalan 30 micron.
Bayangkan, setelah diuji coba, fuel cell yang menggunakan membran lokal ini mampu menghasilkan daya listrik 500 watt dengan konsumsi hidrogen 5 liter per menit. Menurut Eniya, fuel cell dengan membran lokalnya bisa menghasilkan listrik hingga 4.000 jam, jadi cocok digunakan untuk mesin motor atau mobil. Salut deh !!!
Lalu bagaimana solusi untuk mendapatkan hidrogen-nya ? Kalau mau gampang sebenarnya bisa saja pabrik saya bekerja dulu bisa menjual produk hidrogennya dalam bentuk silinder seperti botol LPG. Tapi mungkin hidrogennya sudah habis digunakan sebagai bahan bakar furnace (dapur) untuk proses vaporisasi (penguapan) ataupun proses cracking (memecah ikatan monomer).
Nah, sekali lagi kita harus bersyukur memiliki otak Indonesia yang kreatif. Adalah Mahyudin Abdul Rahman, ilmuwan BPPT yang berhasil menemukan teknologi untuk menghasilkan hidrogen dari bahan jerami, bahan yang murah meriah.
Setelah jerami dikeringkan dan diambil kandungan selulosanya, lalu diubahlah menjadi glukosa. Berikutnya glukosa ini dengan dibantu oleh mikroba tertentu melalui teknik fermentasi gliserol bisa memproduksi hidrogen. Nah, hidrogen inilah yang digunakan sebagai bahan bakar fuel cell-nya Bu Eniya tadi.
Bayangkan, bila sebelumnya biaya produksi listrik adalah Rp. 1.500 per KwH, maka bila rakyat bisa menghasilkan bio-hidrogen sendiri maka produksi listrik dari fuel cell bisa ditekan sampai Rp. 700 KwH.
Keuntungan dari fuel cell ini adalah bebas polusi, karena praktis gas buang yang dihasilkannya adalah uap air saja.
Satu lagi yang akan membuat kita harus angkat topi. Tim Bu Eniya dari BPPT juga sudah berhasil membuat motor bertenaga fuel cell. Dengan berhasilnya mereka membuat prototipenya, sebenarnya praktis kita sudah menguasai teknologi fuel cell ini dari hulu ke hilir. Tinggal apakah pemerintah punya niat untuk segera memasyarakatkannya.
Atau kita hanya cari mudahnya saja, mengimpor saja teknologi fuel cell sekaligus motor dan mobilnya dari luar semacam Jerman, Jepang atau Cina lalu hasil karya otak kita sendiri dicampakkan begitu saja ke tong sampah.
Kita tunggu kabar selanjutnya dari fuel cell ala Indonesia ini.
Sumber Pustaka dan Gambar:
- Majalah Gatra, edisi 9 September 2009
- http://www.seputarotomotif.info/2009/07/motor-baha-bakar-hidrogen.html
- Kompas, edisi Rabu 26 Agustus 2009
- Mass Transfer Study on Polymer Electrolyte Fuel Cell, Eniya Listiani Dewi, Seminar Nasional Teknologi Yogyakarta 2007
- Pengembangan dan Aplikasi Fuel Cell, Eniya Listiani Dewi, Tjutjuk Ismujanto, Ganesha Tri Chandrasa
- Development of Digital gas Flow Meter for Hydrogen Fuel Cell, Eniya Listiani Dewi, Wahyu Widada
- http://205.153.241.230/issues/emergeoct2005/index.html
(Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 12 Januari 2010)