Satu fenomena yang juga bisa dijelaskan oleh teori mestakung adalah fenomena Injury Time. Coba lihatlah bagaimana pertandingan sepak bola selalu semakin seru dan mencapai klimaksnya ketika memasuki masa injury time. Seringkali gol-gol yang menentukan terjadi di masa yang sangat singkat tapi sangat menentukan itu. Pemain sepak bola (perkecualian untuk sepak bola Indonesia ya he...he...) seakan-akan berlipat-lipat tenaganya saat injury time padahal energi mereka sudah terkuras habis sepanjang 2 x 45 menit sebelumnya. Sir Alex Ferguson seringkali mempolitisir isu injury time ini ketika MU menelan kekalahan. Masih ingat saya ketika MU mengalahkan Manchester City dengan skor 4-3 dalam pertemuan pertama di musim ini. Citizen kalah karena gol Michael Owen di detik-detik terakhir masa injury time dan kemudian Mark Hughes mempermasalahkan injury time yang katanya terlalu panjang itu.
Tapi sayangnya, di Indonesia injury time lebih cocok menjadi sebuah penyakit ketimbang sebuah fenomena yang menarik. Kita seakan-akan telah mengutuk diri sendiri dengan membiarkan penyakit injury time ini beranak pinak di negeri ini dari generasi ke generasi, dari masyarakat kebanyakan yang berada di dasar piramid sampai para pejabat dan kaum elit yang bertahta di puncak piramid. Kita telah membiasakan budaya yang jelek ini dengan terbiasa berleha-leha ketika tenggat waktu masih panjang lalu hanya terbiasa bekerja keras ketika mendekati batas waktu atau di masa injury.
Lihatlah di masa pendaftaran CPNS, antrean panjang akan selalu menghiasi pemandangan di hari dan saat-saat terakhir, padahal pendaftaran sudah dibuka 2 – 3 minggu sebelumnya. Setali tiga uang juga terjadi di masa pendaftaran pemilu, entah pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada. Panitia pendaftaran pasti dibuat harus tetap stand-by karena pendaftaran biasanya pasti ramai di saat-saat terakhir. Demikian juga saat SBY mengumumkan menterinya saat tahun 2004 atau 2009 yang lalu, selalu molor dan molor sampai batas waktu yang ditetapkannya sendiri semakin dekat.