Dalam urusan film bioskop, Balikpapan memang selalu ketinggalan. Kami selalu kebagian film-film baru paling cepat sebulan setelah pemutaran perdana di Jakarta. Demikian juga dengan film Merah Putih yang sebenarnya sudah kami lihat iklannya di televisi sejak peringatan 17 Agustus 2009. Anak-anak sebenarnya sudah lama meminta untuk diajak nonton film perang ini, tapi apa mau dikata kami harus menunggu.
Kami memang mendidik sejak kecil anak-anak kami untuk bangga dan mencintai bangsanya. Salah satunya lewat film. Anak-anak kami sudah menonton film Petualangan Denias, demikian pula dengan film Garuda Di Dadaku. Sebenarnya anak-anak juga minta untuk nonton film King tapi sayang gagal karena ketika saya sudah off-duty ternyata film sudah tidak diputar lagi di Balikpapan.
Nah untuk film Merah Putih ini anak-anak sudah meminta dengan sangat. Kami pikir okelah, toh ini film yang kata orang-orang bagus untuk ditonton. Daripada anak-anak saya dicekoki film-film pocong, kuntilanak dan sundel bolong, mendingan anak-anak nonton film ini. Toh genre film perang sudah lama tiada di dunia perfilman kita, kalau tidak salah film nasional bergenre perang terakhir adalah film Supersemar dan Soerabaia 45 (saat itu saya masih SMA, jadi kira-kira tahun 90an). Jadi tidak heran kalau anak-anak sekarang lebih mengenal jagoan perang semacam yang ditampilkan film Saving Private Ryan ataupun Band of Brothers.
Akhirnya kami pun jadi juga menonton tanggal 4 September yang lalu. Karena bulan puasa, pemutaran memang hanya 3 kali sehari kecuali 4 kali sehari pas Sabtu dan Minggu, Kami menonton berlima, saya, istri, ibu mertua dan kedua anak kecil kami. Dan ketika pintu teater dibuka, betapa kagetnya kami bahwa ternyata jumlah penontonnya hanya 12 orang, itu sudah termasuk kami. Terus terang saya tidak heran dengan kondisi seperti itu, genre film kesukaan saya memang aneh. Film yang disuka orang banyak belum tentu saya suka, begitu juga sebaliknya. Waktu saya menonton film Marsinah: Cry of Justice di tahun 2004, saya juga menonton bersama penonton yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang.
Film pun akhirnya diputar. Salut atas profesionalisme sang pengelola bioskop yang tetap menghormati kami yang sedikit ini. Cerita mengalir, tidak terlalu istimewa memang tapi lumayanlah. Anak-anak saya sempat tertawa ketika ada adegan lucu, lalu sibuk bertanya ketika ada adegan yang mereka tidak terlalu mengerti kemudian bertepuk tangan ketika adegan perang dimulai. Pertanda bahwa film tersebut nyambung dengan logika sederhana anak-anak saya.
Mungkin Anda bisa tidak setuju dengan pendapat saya. Bagi saya pribadi, film ini lumayan bagus. Cerita dibangun mengikuti alur cerita khas Hollywood sehingga tidak terlalu bertele-tele, memang agak melambat di tengah-tengah cerita tapi kemudian kembali ke kecepatan semula sampai kemudian klimaks di akhir. Ilustrasi musiknya juga bagus dan menarik, tidak kalah dengan film Troy, Patriot ataupun film Band of Brothers. Adegan perang dan ledakan pun tidak kalah dengan film-film Holywood bergenre sejenis.
Mungkin kesan dan pendapat saya terdengar agak bombastis ya. Mungkin ya juga. Tapi harap diingat, ini film bergenre perang pertama di negara kita setelah hampir 20 tahunan tiada. Bahkan saya yakin para aktornya pun baru pertama kali ini menjadi pemeran film perang. Jadi wajar kalau ada kekurangan di sana-sini. Moga-moga bisa tertutup di sekuel berikutnya.
Anak-anak saya sekarang juga punya jagoan baru, Thomas namanya. Mereka juga begitu terkesan dengan gaya Dayan yang mahir memainkan pisau komandonya. Kita memang butuh pahlawan walaupun sekedar dalam film. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang tidak pernah kekurangan pahlawan dalam film-filmnya.
Sayang, kami menonton dalam kesepian. Gregetnya jadi berkurang dibandingkan kalau bioskopnya penuh dengan penonton. Tapi apa mau dikata, selera tidak bisa dipaksa.