Pernyataan ini bukan datang dari aktivis perempuan, aktivis AIDS, atau petinggi partai berbasis nasionalis alias sekuler. Pernyataan ini datang dari Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Surabaya, Fatkur Rohman.
Bagi mereka yang mengenal PKS sebagai partai Islam 'garis keras' mungkin bakal terkaget-kaget mendengar pernyataan itu. Alih-alih menyerukan penutupan lokalisasi tempat mangkal pekerja seks komersial (PSK) dengan dalih syariat Islam, PKS justru kalem-kalem saja. PKS hanya menyatakan tetap mendukung upaya penertiban Dolly.
Adakah yang berubah dari PKS? Jika melihat perjalanan politik PKS, sebenarnya tak ada yang berubah dari ideologi mereka. Lahir dari rahim gerakan masjid kampus yang dipengaruhi terang gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, PKS tetaplah partai 'kanan' (berbasis agama yang kuat).
Namun sejak kekalahan telak Partai Keadilan dalam pemilu 1999, partai kaum modernis ini agaknya mulai bersikap realistis. Ideologi tetap Islam, namun praktik politik mengharuskan mereka fleksibel. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang walau mayoritas Islam tapi memilih partai-partai non-agama alias nasionalis, membuat PKS menyadari: langkah politik mereka tak lagi bisa mengandalkan jargon formalisme agama. Masyarakat tak memerlukan jargon agama formalistis, namun butuh solusi.
Maka, mulailah PKS membuka diri. PKS sadar, pemilu adalah urusan kursi, dan kursi adalah urusan massa. Partai mulai merekrut orang-orang di luar kaderisasi dakwah selama ini. Orang-orang ini bahkan tak punya ikatan ideologis dengan PKS, namun memiliki kekuatan massa besar. Dan orang-orang pun terheran-heran, bagaimana DPRD di daerah dengan mayoritas Nahdliyyin seperti Jember bisa ditembus dengan raihan lima kursi.
Keterbukaan struktur organisasi partai tentu saja memiliki konsekuensi keterbukaan pandangan politik praktis. PKS tidak bisa begitu saja memaksakan agenda-agenda yang oleh konstituen tradisionalnya sebagai agenda Islami, jika ternyata agenda itu justru berlawanan dengan keinginan konstituen lain. PKS harus pandai-pandai melakukan kompromi dalam mengelola isu politik agar menguntungkan dan bukannya berbalik menghantam mereka.
Dalam konteks inilah, kita bisa membaca pernyataan Ketua Fraksi PKS tersebut. PKS menjadi lebih 'bijak' dalam mengeluarkan pernyataan mengenai para PSK. Bisnis syahwat bisa dibilang bisnis abadi. Dosa karena syahwat adalah dosa tertua, sebagaimana dosa lainnya seperti ketamakan dan kebohongan, sebagaimana ditunjukkan dalam cerita putra-putra Nabi Adam.
Penutupan lokalisasi seperti Dolly begitu saja tidak menjamin terkuburnya prostitusi. Ini agaknya disadari benar oleh PKS. Program pemerintah di sejumlah daerah seperti membina mantan PSK setelah lokalisasi ditutup juga bukan solusi bagus. PSK tak ubahnya jamur, mati satu tumbuh seribu. Ini bukan lagi masalah ekonomi belaka, tapi juga kemudahan akses memperoleh uang.
Tak semua PSK memiliki beban moral saat bekerja di dunia hitam ini. Sebagian memilih dengan sadar dan menikmatinya, karena bisnis ini lebih mudah dan murah, dibanding mereka harus membuka usaha lain yang masih membutuhkan waktu untuk mendapatkan duit.
Mendukung tindakan keras seperti di Aceh juga tak menghapus prostitusi. Di permukaan prostitusi tak tampak dan justru seperti hantu. Tak mudah menjinakkan hantu.
Bisnis prostitusi mengikuti teori ekonomi sederhana: permintaan dan pemenuhan kebutuhan, ada uang ada barang. Persoalan justru bukan terletak pada para PSK, tapi pada para pria yang menjadi konsumen bisnis prostitusi. Faktor ekonomi tak akan menjadi alasan bagi para PSK ini untuk bekerja, selama tak ada permintaan dari para lelaki yang tak puas mengumbar syahwatnya.
Saya berprasangka, mungkin inilah yang dibaca politisi PKS. Menutup lokalisasi tak pas benar, karena ini solusi satu arah. Namun saya kira PKS masih akan berpikir seribu kali untuk terjun lebih serius dalam isu lokalisasi PSK ini. Selain mencari solusinya bisa bikin mumet, tak mudah mengelola isu ini antara tuntutan pemilih tradisional dengan pemilih non-lingkungan dakwah. Jadi, PKS akan mengikuti jejak partai lain: mengikuti saja apa program pemerintah daerah atau pusat dalam menangani isu prostitusi. [oryza a. wirawan]