Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

22 Years On

15 April 2011   07:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 97 1
Seikat mawar putih di tangan. Terikat erat seutas tali berwarna senada. Kelopaknya merekah sempurna hingga pucuk keindahannya. Daun-daun hijaunya masih tampak segar dengan sisa titik embun yang masih menempel di ujung.

Rangkaian bunga untuk tahun ini. Telah disiapkannya sejak beberapa jam sebelum gerak waktu menyentuh angka tujuh pagi tadi. Dipetiknya secara lembut dari kebun di belakang rumah.

“Sudah waktunya berangkat,” bisiknya lirih pada diri sendiri. langkahnya terayun perlahan, menuju stasiun terdekat menuju kota itu―kota kecil yang membuatnya kehilangan separuh dari jiwanya. Sesekali matanya melirik pada gerombolan mawar segar yang didekapnya erat di dada. Seutas senyum terlukis di wajahnya sebelum segurat muram menggantikannya.

Hatinya bergejolak keras. Setumpuk rasa sesak teronggok di sana. Di sudut hatinya. Lama rasa itu telah dicoba untuk dihalau dan bahkan ingin dilupakannya. Lalu dengan begitu, dia bisa hidup setenang lebih dari dua dekade yang lalu. Tapi tidak pernah semudah itu. Dan sekarang, setelah dia tahu dia berulang kali gagal, dia mencoba berdamai dengan kenangan yang menyesakkan. Menghirup dalam-dalam aroma luka yang belum sepenuhnya mengering.

Deru kenangan yang berputar di pikirannya seolah ingin menarik kembali ke masa itu. Sudah lama sejak waktu itu berlalu, tapi rasanya seperti baru kemarin.

Masih dirasakannya sakit yang sama saat pertama kali berita itu sampai padanya. Kegelisahan yang menguasai dirinya dalam waktu cepat membuatnya ingin berlari mencari tepian. Bibirnya tidak henti mengucapkan doa yang sama. Hatinya berusaha mencari sebuah penyangkalan akan apa yang didengar.

"Itu tidak benar. Katakan itu hanya lelucon. Katakan itu hanya... Oh, Tuhan!"

Berkali-kali dia mencari, berkali-kali juga dia tidak menemukan jawaban yang diinginkan. Satu-satunya yang didapatkannya hanya kenyataan bahwa apa yang didengarnya bukan sebuah lelucon April Mop yang terlambat. Kenyataan yang mengantarkan pada satu takdir yang nantinya tidak bisa dilupakan.

Dunianya seolah tidak mampu lagi menahan beban hidup. Runtuh. Tangisnya pecah dalam hening. Pendar cahaya yang dihasilkan layar televisi semakin buram di matanya. Suara panik yang menyusup diam-diam dari suara reporter saat itu serta raut wajahnya yang tidak bisa menyembunyikan muram di sudut mata semakin membuat hatinya kalut.

Dia menarik nafas panjang sesaat setelah langkah kakinya memasuki stasiun bawah tanah yang akan mengantarkannya ke Sheffield. Kota yang menjadi saksi bisu peristiwa yang tidak pernah ada di benaknya jauh sebelumnya. Peristiwa yang tidak pernah terbayang. Peristiwa dua puluh dua tahun yang lalu.

***

Perlahan, diletakkannya rangkaian bunga itu di sana. Jalanan itu telah dipenuhi rangkaian bunga dari orang-orang yang lain. Matanya terpejam sembari menggumamkan sebait doa.

"Tuhan, kirimkan malaikat-Mu menjaganya di sana―tempat yang menurut-Mu adalah tempat yang paling damai. Tempat di mana tidak bisa ditemukan kericuhan, keonaran juga hal-hal yang menyakitkan seperti di tempat yang kupijak..."

Dua menit berikutnya senyap. Semua kepala tertunduk dalam. Mobil-mobil yang sedari tadi berseliweran menghentikan lajunya. Orang-orang menanggalkan aktivitasnya sejenak. Semua larut dalam hening. Tenggelam dalam duka yang masih sama dalam.

Dia menahan nafas. Dentang lonceng itu menyeruak di sela-sela hening. Sekali, dua kali, tiga kali hingga sembilan puluh enam kali. Sama seperti jumlah denting di tahun-tahun sebelumnya. Jumlah yang sama persis seperti jumlah korban yang tewas 22 tahun yang lalu.

Dua puluh dua tahun. Selama itu waktu yang telah berlalu. Selama itu juga waktu menulis sejarah lain.

Tapi dia tidak lupa dan tidak akan pernah lupa...

***

...I'll find some peace tonight
In the arms of an angel
Fly away from here
From this dark cold hotel room
And the endlessness that you fear...



Waktu...
Jauh berlari meninggalkan kenangan tentangmu di sudut hati
Menuliskan sejarah lain di kertas putih

Waktu...
Yang membuatku mengingat kembali masa itu
Saat di mana kau pergi,
setelah merasa letih berjuang untuk tetap hidup

Waktu...
Yang mengajariku berdamai dengan rasa pahit
Hingga aku bisa meyakinkan diri
Lalu berkata,
"Tuhan pasti menyuruh malaikat-Nya untuk menjagamu di sana."

Dua puluh dua tahun, selama itu
Tapi aku tidak akan pernah lupa...



Jember, 15 April 2011

Dedicated to 96 Liverpool FC supporters who never came back from Sheffield. Today, the 22nd anniversary of tragedy at Hillsborough, which broke the heart but not spirit.

Seperti yang sudah-sudah. Peringatan tragedi ini setiap tahunnya hanya membuatku merinding sekaligus merasa miris. Merinding karena meski sudah selama itu orang-orang di Inggris seolah tidak pernah lupa dengan peristiwa tersebut. Bahkan mobil-mobil yang berada di jalan pun memilih berhenti, orang-orang meninggalkan aktivitasnya lalu mengeningkan cipta. Padahal, mungkin banyak dari mereka yang belum lahir saat peristiwa itu terjadi. Dan belum tentu juga mereka mengenal para korban secara personal.

Dan miris saat harus melihat ke negeri sendiri. Jangankan 22 tahun, tragedi Mei 1998 saja sudah banyak orang yang lupa. Apalagi memperingati dengan emosi sepenuh jiwa seperti di Inggris. *sigh*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun