Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pulang

8 April 2011   14:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00 51 0
Piazza San Marco sore itu, kali pertama kulihat dia termangu dengan pandangan mata kosong. Binar mata yang memendarkan bening itu seolah tenggelam di antara ratusan kawanan merpati yang memenuhi lapangan luas di pusat kota Venice.

Mungkin kejadian di malam sebelumnya bisa menjadi jawaban. Namun entahlah, aku juga tidak tahu pasti. Kenyataan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat tertutup seolah mementahkan semua. Ada beribu hal yang bisa menjadi alasan.

***

Malam itu, langit Venice menabur pekat. Tak ada bintang yang nampak, mengerjap dan merayu siapapun untuk menarik satu garis yang akan menghubungkan setiap titiknya. Tidak ada Orion yang berdiri angkuh di pinggiran Eridanus.

"Aku tidak mengerti."

"Cuma satu, aku ingin kau membuat sejarahmu sendiri."

Hening. Lebih hening dari setiap perbincangan yang telah berlalu. Ini kali pertama kami berdebat hanya karena perbedaan pandangan.

"Apa salahnya ingin menjadi bagian dari mereka?" Suara itu memecah kebisuan yang memuncah.

Tidak ada, bisikku lirih, tapi kau tidak diciptakan hanya untuk itu.

Dia menatapku lekat. Menuntut penjelasan. Tapi aku lebih memilih mengalihkan pandanganku ke luar jendela.

"Kau harus membuat sejarahmu sendiri." Maksudku, dirinya terlalu kecil jika disandingkan dengan sejarah kebesaran kelompok tersebut. Dia sebenarnya tahu bahwa kelompok itu telah menciptakan sejarah mereka sendiri bahkan sebelum dia datang dan bergabung. Dan dia sama sekali tidak terlibat dalam proses terciptanya sejarah itu. Ada beberapa nama yang dianggap menjadi aktor di belakangnya.

"Aku sudah lupa untuk berhitung berapa kali kau mengatakan hal yang sama," sindirnya. Aku bergeming, sedikitpun tak memalingkan muka. Tapi aku bisa memastikan satu hal, garis wajahnya pasti mengeras dengan sorot mata yang menandakan naiknya emosi. Dan aku benci itu.

"Kau berkata, kau bangga bisa menjadi bagian dari sejarah mereka. Tapi kau melupakan sesuatu."

Ucapannya beberapa hari yang lalu masih berdengung jelas di telingaku. Dan entah mengapa, hal itu justru membuatku semakin sakit. Sekalipun dia menjadi bagian di sana, perannya seolah tak terlihat. Dan sepuluh tahun dari sekarang, orang hanya akan tahu namanya sebagai satu dari kebanyakan yang ada di sana.

Derap langkahnya terdengar mendekat. Aku menahan nafas. Seharusnya perdebatan ini tak perlu terjadi. Dia punya hak untuk memandang sesuatu dari sisi yang berbeda denganku.

"Saat aku kecil ayahku pernah berkata, lebih baik menjadi harimau di kandang keledai daripada menjadi keledai di kandang harimau. Mungkin kau bisa menarik kesimpulan sendiri."

Kupejamkan mata setelah selesai kukatakan itu. Dia pasti mengerti.

***

"Kenapa?"

Dia mendongak. Dari tatapannya yang sayu, aku tahu dia tengah berpikir. Ada sesuatu hal yang membebani pikirannya.

"Aku baik-baik saja."

"Kau tahu..." aku mengambil nafas sejenak, membiarkan udara sore itu memenuhi rongga paru-paruku. "Setiap kau berkata kau baik-baik saja, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres."

Aku menatapnya. Mengamati setiap garis-garis wajahnya yang sedikit menegang. "Kau terlihat... sedikit frustasi. Setidaknya, itu kulihat di beberapa hari terakhir."

"Kau selalu tahu." Hening. Yang kudengar hanya suara deru nafas yang bergulung. "Entahlah... kupikir kau benar."

"Maksudmu?" tanyaku. Aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraannya kali ini.

"Tentang semuanya."

Dahiku mengernyit. Apa maksudnya?

"Pembicaraan kita beberapa malam lalu dan..." Seulas senyum tersaput indah di wajahnya. Kurasa ini sebuah kemajuan. "ya, kau memang benar. Aku sedikit frustasi. Tapi aku sudah mengambil satu keputusan. Aku akan pergi."

Mataku hampir tak berkedip. Heran dan juga takjub. "P-pergi dari sini?" Rasanya seperti mendengar satu hal yang tidak mungkin terjadi.

"Ya," jawabnya pendek.

"Lalu kau akan ke mana?"

"Bukan aku, tapi kita."

Aku tertawa kecil. Dia serius, aku tahu. "Baiklah, kita akan ke mana?"

"Pulang."

Almelo? Aku membatin. Tapi dia seakan bisa membaca pikiranku dan langsung menyanggahnya. Tidak mungkin kembali secepat ini, lagipula baru empat bulan kami meninggalkan kota kecil itu.

"Lalu?" tanyaku lagi.

"Entahlah, aku juga belum tahu."

"Mengapa kau bilang kita akan pulang?"

Dia menyeringai. Lalu berkata, "Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa rumah adalah di mana hati kita berada. Jadi di manapun tempatnya―selama ada dirimu―aku akan menyebutnya rumah."
Jember, 08 April 2011
Warning : geje! :P

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun