Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Cara Kita Melihat Media Sosial

28 September 2023   12:50 Diperbarui: 28 September 2023   12:56 73 1
20 tahun silam dunia berjalan terasa lambat. Manusia membutuhkan beberapa waktu dan sekian tenaga hanya untuk menerima atau menyampaikan sebuah informasi ke tempat yang jauh.
   
Radio dan televisi di masa itu nampaknya terklasifikasikan sebagai barang sekunder. Itu juga yang turut membatasi arus informasi. Tidak semua orang bisa nonton berita. Hanya wajah artis top lah yang familier di masyarakat. Juga mengenai sepak terjang pemerintah di Jakarta pun kita gelap pengetahuan.
     
Dunia perlahan terlihat berbeda tatkala teknologi media sosial dikembangkan secara pesat. Waktu yang dulunya terasa berjalan lambat kemudian berganti seperti begitu cepatnya.
     
Manusia dan media sosial menjadi dua instrumen yang sudah saling menyatu.
   
Saya berbicara dengan banyak sekali orang tua di banyak kampung perihal perbedaan apa yang paling mereka rasakan antara kehidupan di tahun-tahun yang dulu dan tahun sekarang. Mereka mengaku dulu waktu seperti sangat lama. Antara satu bulan ke bulan lainnya, antara satu tahun ke tahun berikut, lama sekali. Tapi sekarang jarak pagi dan malam pun rasanya begitu singkat. Seolah hanya berjarak beberapa kedipan mata.
     
Di banyak pengakuan saya menemukan fakta betapa dahulu kesibukan manusia sungguh terbatas hanya pada pekerjaan semata. Ketika sedang tidak ada pekerjaan, penghasilan pun tidak ada, di situ waktu akan terasa lama. Orang-orang di kampung biasanya hidup begitu jauh dengan informasi dunia luar.
     
Dugaan saya arus informasi yang berjalan sporadis bisa saja memicu psikologis manusia dalam merasakan proses berjalannya waktu.
     
Sekarang di zaman media sosial, saat teknologi kian tak terbendung kemajuannya, di situ pula kita akan sering menemukan orang yang bilang waktu ini cepat sekali berlalu. Kenapa demikian? Karena baik teknologi maupun media sosial sendiri selalu membuat kita untuk terus sibuk, meski di saat bersamaan kita adalah pengangguran di ruang masyarakat.
     
Penggunaan media sosial terus menerus tak bisa dipungkiri akan menciptakan ketergantungan baru bagi manusia. Selain sebagai sarana mengonsumsi informasi, media sosial juga jadi pabrik sebuah individu memproduksi informasi itu sendiri dan mengedarkannya melalui kanal yang sudah ada. Nah aktifitas inilah yang kemudian berubah menjadi sebuah kesibukan.
     
Media sosial dirancang agar manusia bisa lebih sibuk dari biasanya, atau dengan bahasa kerennya manusia bisa menjadi lebih produktif berkat media sosial. Ya, itu boleh jadi benar, tapi bagaimana jika media sosial malah menghambat produktifitas manusia? Ini tentu bahanya.
     
Di mata orang media sosial punya arti yang selalu berbeda dan mengalami persilangan sudut pandang. Ada yang menganggap media sosial sebagai rumah, tempat ia menyimpan album kenangan perjalan hidupnya. Ada yang sekadar memanfaatkan media sosial untuk menggelar lapak virtual demi menyambung hidup, atau bahkan menjadikan media sosial sebagai taman bermain. Tak sedikit juga kita dengar orang yang mengaku bermedia sosial hanya untuk terus merawat tali silaturahmi dengan orang-orang yang jauh. Tapi sewaktu-waktu malah bisa jadi musuh ketika musim pemilu datang cuma gara-gara beda pandangan politik.
       
Kini kemana pergi media sosial selalu menjadi alat yang terus kita bawa. Ia menjadi kebutuhan primer. Ada yang kurang darah lantaran seharian nongkrong di media sosial, tak sedikit pula yang sampai naik darah setelah bergelut dengan lawan debat di kolom-kolom kometar, atau malah cuma karena baca postingan tertentu.
     
Begitulah warna-warni media sosial. Orang bisa jatuh cinta melaluinya, orang bisa datang meminjam uang lewat layanan pesan yang tersedia, saling berbisik tentang rumah tangga, atau bahkan ribut-ribut caleg dan capres potensial semua terhampar di atas padang pasir media sosial.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun