Masih pagi-pagi buta saat azan subuh di masjid baru setengah jalan dikumandangkan marbot, seorang pegawai sebuah toko retail sudah necis dan sibuk merapikan halaman tokonya. Wajahnya begitu segar selayaknya mereka yang berangkat kantor di pagi hari nanti. Di dalam toko tampak dua orang pegawai perempuan juga sedang bersiap-siap.
   Â
Melihat mereka saya suka bertanya pada diri sendiri apakah jika saya di posisi mereka saya bisa melakukan semuanya tanpa mengeluh. Apakah saya bisa konsisten menjalani rutinitas macam itu? Atau apakah saya akan tahan berlama-lama, jika saya menjadi mereka? Sayang itu jadi pertanyaan yang sebatas pertanyaan. Sepanjang itu semua tak ada lagi jawaban yang bisa menjelaskan lebih jauh.
   Â
Entah bagi sang pegawai toko tersebut adakah ia tak mengeluhkan situasinya. Paling tidak ia masih mau menyalurkan senyum terbaiknya saat warna langit pun masih belum menyala. Ia memberikan sapaan paling ramah tatkala banyak orang masih tertidur.
   Â
Sekali kesempatan saya pernah bicara dengan langsung dengan pegawai toko lainnya. Sekadar cerita-cerita pengantar biasa. Saya tak sampai hati harus bertanya berapa lama jam kerja sehari maupun segala hal terkait benefit. Tapi ia sendiri yang berterus terang mengenai pekerjaannya, suka duka yang ada di lingkungan kerja, juga keluarga yang mesti terus dijaga.
  Â
Dari sana saya menyadari hal-hal lain yang sekian lama bahkan tak bisa diidentifikasi dalam diri. Bahwa kurangnya syukur akan membuat kita dekat dengan lebih banyak mengeluh.Â